Mohon tunggu...
Ade Tanesia
Ade Tanesia Mohon Tunggu... Freelancer - Antropolog

Pemerhati Budaya

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mengenang Edhi Sunarso, Pematung Kesayangan Bung Karno

7 Juli 2024   12:00 Diperbarui: 7 Juli 2024   12:11 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Selamat Datang (Sumber: merdeka.com)

apakah aku yang sekarang adalah aku yang dulu ?

Dengan suara perlahan, ia jawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan lagi. Edhi Sunarso sejenak terdiam. Matanya menerawang seakan melihat kembali putaran film kehidupannya. "Secara logika, kalau mengingat masa laluku, aku tidak seharusnya menjadi Edhi Sunarso yang sekarang ini," ungkapnya sambil tertawa lirih. 

Sebuah perenungan amat dalam dari seorang pematung legendaris yang dipunyai oleh bangsa Indonesia. Dari tangannya, patung-patung bertema perjuangan bertebaran di ruang-ruang publik kota di Indonesia. Patung yang sungguh "hidup," karena Edhi Sunarso adalah mantan pejuang yang merasakan kekejaman penjajah belanda.

Gerilyawan di Usia Belasan Tahun
Salatiga 1933. Sejak usia 7 bulan, Edhi Sunarso sudah harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Hari kelahirannya, Selasa Wage, ternyata sama dengan Ayahandanya. Dalam tradisi Jawa, ada istilah tumbukweton, yaitu jika hari kelahiran anak pria sama dengan ayahnya, maka dipercaya hal ini dapat membawa kesialan, sehingga salah satunya harus dipisah. 

Edhi Sunarso akhirnya dibawa ke daerah Kemayoran, Jakarta dan diasuh oleh Budenya. Namun naas masih melingkupi kehidupannya. Sebuah pesawat Belanda jatuh di kawasan Kemayoran, sehingga ia terpisahkan dari Budenya yang lari mengungsi entah kemana. Edhi Sunarso langsung dibawa oleh seorang guru ke Pegaden Baru di Subang.

Di Jawa Barat pula Edhi Sunarso yang masih usia belasan tahun ikut bergabung dengan pejuang gerilyawan Indonesia untuk melawan Belanda. Saat itu ia bertugas menjadi kurir, yaitu penghubung antar pejuang kemerdekaan. Ketika kelas 5 SR, ia tinggalkan sekolahnya dan mulai bergerak sebagai pasukan sabotase yang membakar pabrik-pabrik milik belanda. 

Ketika di Cimalaya, saat melewati sebuah kampung yang terbakar, Edhi Sunarso beserta pasukannya yang berjumlah 19 orang dikepung oleh Belanda. Sejak itulah hampir selama empat tahun, ia hidup dari penjara ke penjara.

Siksaan demi siksaan ditelannya. "Ditendang pakai popor, diinjak, disetrum, ah ....itu hal biasa. Bahkan di penjara di Purwakarta, aku heran, banyak tahanan yang senang denganku. Mereka rebutan memberikan makan dan memandikanku. Aku nggak sadar, kan masih kecil. Mereka mulai mulai mendekap, mencium. Untung sebelum berlanjut ke perbuatan yang lebih mengerikan, aku dipindah ke penjara TNI CAMP LOG Kebonbaru, Bandung," tuturnya. Di penjara terakhir itulah, Edhi Sunarso bisa merasa lebih nyaman. Ia belajar membuat cincin dari tulang dan menggambar.

Pada usia 16 tahun, Edhi Sunarso diperbolehkan untuk keluar dari penjara. Saat mendengar keputusan itu, bukannya senang, ia justru khawatir karena tidak tahu akan pergi kemana. Ia ingin pergi ke Jogjakarta untuk menyusul komandannya yang telah long march. Dengan baju dua stel, Edhi Sunarso berjalan kaki sepanjang 18 km menuju Semarang. 

Saat sampai di Semarang, Edhi Sunarso jatuh sakit yang cukup berat dan di bawa ke sebuah puskesmas milik belanda. Setelah kondisinya cukup kuat, Edhi Sunarso ingin melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta. Tetapi saat itu ia dilarang ke sana, karena Jogjakarta adalah daerah Republik Indonesia. Akhirnya ia bilang bahwa dirinya mau ke Salatiga. "Saya katakan Salatiga karena dulu saya pernah denger-denger kalau orang tua berasal dari daerah itu,"lanjutnya.

Bertemu Orang Tua
Sampai di kawasan Salatiga, ia masuk ke daerah RI, namanya Suruh. Setelah bertemu dengan komandan area Suruh, ia akhirnya diajak untuk bergabung menjadi staf komandan militer Ampel. Pada bulan September 1949, secara tidak disengaja ia bertemu dengan tiga orang tentara di sebuah perayaan hari ulang tahun RI ke-4. Ternyata tiga tentara itu adalah saudara kandungnya. Mereka adalah Wiryono, seorang prajurit, Darjono seorang wakil wedana RI dan Suwarno seorang Wedana RI. Matahari belum lagi terbit, Edhi Sunarso bersama ketiga saudaranya langsung bergegas menuju desa tempat orang tuanya tinggal. Mereka berjalan kaki sepanjang 30 km dan baru sampai pada jam 8 pagi.

Saat berhadap-hadapan muka dengan orang tuanya, tak ada tangis, pun tak ada pelukan. "Kami masing-masing tidak bisa bicara. Selama ini mimpiku untuk bertemu orang tua dengan perasaan dicintai dan dicium, sama sekali tidak terjadi. Rasanya hanya kosong. Aku nggak bisa bertahan lama di rumah orang tua, karena selalu merasa sebagai orang terbuang. Apalagi melihat kakak dan adik yang semuanya disekolahkan.

Sementara, aku, lapar harus kurasakan sendiri, sakit kurasakan sendirian, apalagi sekolah. Hari pertama, hari kedua semakin mencekik. Lalu aku kembali ke komandan di Ampel dan minta keluar untuk melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta. Lalu aku pamit pada orang tua. Tentu mereka berusaha menahanku, tetapi bagaimana lagi, aku hanya bisa bertahan satu minggu. Aku hanya berjanji pada diri sendiri bahwa akan kembali setelah menjadi orang, setidaknya selevel dengan saudara saya lainnya," tutur Edhi Sunarso dengan lirih.

Menjadi Pematung
Kembali Edhi Sunarso harus berjalan kaki menuju Jogjakarta, melewati rintangan-rintangan di setiap daerah kekuasaan belanda. Sesampainya di sana, ia mencari komandannya dari pasukan Siliwangi. Ternyata pasukan ini telah long march kembali ke Bandung, ia disarankan untuk mendaftar ke kantor KUDP (Kantor Urusan Demobilisasi Prajurit).

Waktu itu bulan April 1950. Edhi Sunarso berada di persimpangan jalan saat ia ditanya apakah mau terus jadi tentara atau sekolah. Ia sendiri sudah bosan jadi tentara. Saat sedang menentukan pilihannya, ia kerap bermain di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang letaknya di depan bioskop Permata, Jogjakarta. 

"Senang sekali melihat mereka menggambar. Saya teringat di penjara. Mereka gambar di pasar, saya ikut gambar juga," ungkap Edhi Sunarso. Masih segar dalam ingatannya, saat dirinya sedang asyik menggambar, seorang pria menepuk pundaknya seraya berkata "aku heran, kau sebenarnya di sini sedang ngapain? You tentara kan?". 

Edhi Sunarsopun menjelaskan bahwa dirinya telah ditinggal pasukannya long march ke Bandung. "You bisa gambar? Kenapa nggak sekolah saja?," lanjut pria itu. Tentu saja tanpa adanya ijazah SD, tak mungkin ia bisa mendaftar ke sekolah tinggi. "Tapi gambar you bagus. Orang sunda yah?," tanya laki-laki itu. Edhi Sunarso hanya mengangguk pelan. "kalau gitu, besok aku akan bilang direktur. kalau diterima jadi siswa mau nggak?", tanya laki-laki itu. Mata Edhi Sunarso langsung berbinar-binar, dunia serasa terbuka baginya. Tanpa tedeng aling-aling, ia langsung menyatakan kesediaaannya.

Itulah pertemuan pertamanya dengan Hendra Gunawan. Sebuah pertemuan yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidupnya. "Bagi saya Hendra Gunawan dan isterinya seperti orang tua. Dari merekalah saya memperoleh kasih sayang yang selama ini saya dambakan,"ungkapnya mengenang kebaikan hati keluarga Hendra Gunawan. Ia tinggal di rumah Hendra Gunawan yang juga menjadi markas sanggar Pelukis Rakyat. Dengan gaji dari KUDP sebesar Rp. 150,- per bulan, ia ikut membantu Hendra Gunawan untuk menghidupi sanggar Pelukis Rakyat. "Pelukis rakyat itu hanya dapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp. 12,- per bulan. Kalau sudah tanggal tua, Bu Mien, istri Hendra Gunawan mulai menggadaikan kain-kain. Inilah gambaran Pelukis Rakyat tahun 1950-an," imbuhnya.

Bersama para seniman lain, ia sering diajak ke Kaliurang untuk mematung batu, karena saat itu belum ada teknik cor, semuanya memakai tanah liat.Baginya tak ada malam, karena siang malam ia terus menumpahkan hidupnya untuk menggambar dan mematung. Tidak heran jika saat tahun ketiga ia diperbolehkan untuk ikut ujian dan dinyatakan lulus sehingga bisa menjadi mahasiswa biasa. Pada tahun 1952, Edhi Sunarso mengikuti sayembara patung sedunia di London bernama Public Ballot dimana ia menjadi pemenang kedua dengan patung berjudul "The Unknown Political Prisoner" yang kini tersimpan di Museum Tate, London. Ia kemudian melanjutkan sekolah di ASRI sehingga bisa memperoleh ijazah 2. Dengan bekal ijazah dan prestasi yang dimilikinya, Edhi Sunarso bisa mendapat beasiswa dari Unesco untuk sekolah di Santini Ketan, India. Selama dua setengah tahun studi di negeri Mahatma Gandhi itu, ia memperoleh Gold Medal dari pemerintah India. Sebuah penghargaan kesenian pertama yang diberikan India kepada orang asing. Sekembalinya dari India, di tahun 1959, Edhi Sunarso menjadi guru tetap di ASRI. Saat itu pula ia mengembangkan teknik cor gips dan semen. Pada tahun 1960, ia pun diberikan tanggung jawab untuk mengembangkan jurusan seni patung di ASRI.

Bung Karno dan Patung-Patung Bersejarah
Nama Edhi Sunarso di kancah nasional semakin melambung. Tiba-tiba ia pun mendapat panggilan dari Bung Karno. "Sebenarnya saya sudah pernah bersalaman dengan Bung Karno saat peresmian monumen tugu muda Semarang. Tapi entah darimana Bung Karno mendapatkan nama saya," ungkap Edhi Sunarso merendah. Bersama Henk Ngantung, ia bertemu dengan Bung Karno yang mengutarakan rencananya untuk membuat patung besar untuk menyambut peserta Asean Games. "Waktu itu Bung Karno bilang gini 'Di, aku mau buat patung, tingginya 9 meter. Patung selamat datang untuk menyambut olah ragawan Asian Games Bahan perunggu', terus saya bilang 'Pak, saya belum pernah bikin patung perunggu. Jangankan 9 meter, 10 cm pun belum pernah". Dia bilang lagi 'Kau punya national pride nggak? Kau senang kalau yang buat patung seniman dari Italia. Pokoknya senang tidak senang, kamu harus lakukan. Aku dengar kau pernah masuk penjara untuk bela negara. Aku beri waktu satu minggu untuk berpikir. Tapi kalau kembali harus dengan jawaban SANGGUP!  Demikian obrolan saya dengan Bung Karno saat itu," ungkap Edhi Sunarso menirukan gaya bicara Bung Karno.

Sepulangnya dari Jakarta, maka yang langsung ditemui oleh Edhi Sunarso adalah Pak Gardono, kakak dari pematung G. Sidharta. Bersama beliau pula, keduanya menemui mantan pekerja bengkel PJKA yang sanggup membantu proses pengecoran dan penyediaan bahan dengan memakai ketel bekas lori. Untuk peralatan, ia pergi menemui teman-teman eks tentara di Solo. Setelah semua bahan siap, maka ia pergi ke Jakarta menemui bung Karno. Saat ditanya soal biaya, Edhi Sunarso bingung karena dirinya belum pernah menghitung biaya pembuatan perunggu. Lalu Bung Karno memberinya modal awal dan kalau ada keperluan lagi ia bisa langsung minta ke Jakarta, yaitu ke Hutama Karya yang menjadi rekanan pemerintah. "Jika membeli karya, Bung Karno memang seringkali bayarnya mencicil. Jadi dari gajinya, ia akan menyisihkan untuk membayar cicilan pada seniman-seniman yang karyanya dibeli.Nanti Dullah yang akan bayar ke seniman-seniman. Pernah suatu saat Bung Karno datang ke rumah saya. Melihat lantai rumah yang tak bertegel, Bung Karno langsung bilang 'Di, saya belikan tegel, tapi aku ambil satu patungmu'," ungkap Edhi Sunarso tertawa.

Yang menarik untuk memperoleh bentuk patung, biasanya Bung Karno sendiri yang akan memperagakan dirinya untu kdijadikan model. "Nanti dia beraksi sambil mengembangkan dua tangannya dan berteriak 'selamat datang'. Lalu kita disuruh sket dirinya. Nggak sekali dua kali tuh. Kalau dia lihat kurang bagus, dia akan ulang lagi agar gayanya lebih dinamis. Jika sket sudah bagus, maka kita langsung membuat maket," kenangnya. Setelah patung Selamat Datang, maka Edhi Sunarso diminta untuk membuat patung pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. "Kalau patung itu modelnya saya. Jadi jika diperhatikan mirip saya wajahnya," katanya sambil tertawa.

Patung Irian Barat selesai, lalu Edhi Sunarso diminta untuk membuat patung Dirgantara yang akan diletakkan di bunderan Pancoran. Idenya berasal dari pertanyaan, jika Amerika dan Soviet bangga dengan pesawatnya, lalu apa yang bisa dibanggakan dari Indonesia? manusianya. Bung Karno pula yang memperagakan gaya Gatot Kaca Mental Bentolo atau Gatot Kaca yang sedang jejak, mengambil ancang-ancang untuk terbang dan lepas landas. Itu adalah simbol dari semangat dan patriotisme bangsa Indonesia. Pada tahun 1964, patung itu sebenarnya sudah selesai di Jogja. Lalu pecah peristiwa G30S, sehingga patung yang baru dibayar sekitar 5 juta itu terhenti. Edhi Sunarso sendiri harus menjual benda-benda berharganya untuk menutupi biaya pembuatan patung yang nilai keseluruhannya sejumlah Rp. 12 juta. Secara politis, patung itupun diisukan sebagai monumen cukil matanya Gerwani oleh orang-orang yang anti Bung Karno. Saat yang bersamaan, Bung Karno sudah mulai sakit-sakitan. Kendati demikian saat pemasangan Bung Karno masih tetap datang. "Hanya dua kali Bung Karno datang, lalu ia dirumahkan. Ketika patung ini selesai dipasang, beliau sudah menjadi jenazah. Inilah monumen terakhir yang tidak pernah dilihat dan diresmikan oleh Bung Karno. Juga biayanya tak pernah dilunasi oleh pemerintah. Bung Karno sempat menyuruh bawahannya untuk menjual mobilnya untuk menutupi pembayaran patung itu, tetapi hanya sekitar 1 juta. Bagi Edhi Sunarso, bekerjasama dengan Bung Karno merupakan pengalaman yang sangat berkesan.

Perjalanan Edhi Sunarso memang sangat panjang. Kini usianya telah mencapai 72 tahun. Di tahun ini pula ia berbahagia karena bisa merayakan "kawin emas" dengan isteri tercintanya Kustiyah. Untuk mengingat asal usulnya, maka ia pun merenovasi rumah orang tuanya di salatiga yang telah diwariskan padanya. Sebuah rumah yang sebetulnya asing baginya, karena ia tidak pernah dibesarkan di sana. Di masa tuanya pula ia berencana untuk menunaikan hajinya pada tahun 2006. Tubuhnya masih bugar sehingga ia tetap bekerja dari jam 08.00 pagi -- 16.00 sore di studionya di kawasan Jombor, Jogjakarta. Seluruh pencapaiannya ditanggapi dengan kerendahan hati. Saat ia berkata "aku hanyalah titik kecil dari seluruh peristiwa besar yang lainnya". (Ade Tanesia, Pecinta Seni)

Catatan: Ini adalah tulisan lama yang pernah dimuat di Majalah Visual Art. Saat itu, Edhi Sunarso masih hidup dan saya mewawancarainya di studionya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun