Warna putih sangat identik dengan tenaga kesehatan. Lihat saja saat kita berkunjung kerumah sakit, kita akan temui dokter dengan jas putihnya, perawat dengan baju dinasnya serta laboran yang juga setali tiga uang mengenakan jas lab putih. Mungkin ini menjadi pertanyaan banyak khalayak di negeri ini tapi sudah dianggapnya wajar. Tapi kita coba telaah lebih dalam tentang hal ini, putih yang saya tahu adalah suci. Ya, ini yang ada dibenak saya dari dulu waktu saya SD sampai saat ini.
Apakah karena kostum serba putih ini simbol keagamaan? Yang mana kita tahu, umat muslim mengenakan warna putih sebagai pakaian ibadah yang juga menjadi sunnsh nabi. Atau para pemuka agama lain yang hampir semua serba putih? Atau karena putih dipilih dulu karen auntuk membedakan warna prajurit dalam peperangan dengan dokter militer? Atau sesehat air susu ibu untuk bayinya yang pasti berwarna putih? Atau kain kaffan orang meninggal yang menjadi patokan?
Entahlah. Yang jelas pada abad 19 – 20 penemuan – penemuan besar terjadi oleh para laboran yang menemukan inovasi yang mutakhir di bidangnya menjadi selebriti dan mungkin juga menjadikan inspirasi para ‘pekerja’ rumah sakit untuk mengenakan baju serba putih. Kehidupan serta teknologi yang sekarang sudah tak bisa terelakkan lagi menjadikan semua terdokumentasikan. Sekarang sinetron di Indonesia juga menempatkan dokter dan perawat menjadi figur yang awajib ada dihampir sinetron di indonesia. Ini juga faktor penambah pertanyaan yang ada...Â
Jas putih laboran yang dipakai merupakan alat pelindung diri dari kecelakaan kerja atau dalam kegiatan keseahtan yang dilakukanya kepada pasien. Menjadi alat proteksi yang awalnya sangat sederhana sekarang terjadi pergeseran fungsi yang semula sebagai pelindung kerja menjadi simbol status para profesional kesehatan, bahkan fashion. Dulu para peneliti juga merupakan dokter yang mempunyai pasien dan dengan nama kepraktisan dia mengenakannya keluar masuk lab dan bangsal pasien. Pasien zaman dulu masih bisa menerimanya. Namun dunia telah berubah. Pasien makin cerdas dan penuntut.Â
Lama-lama ketahuan bahwa banyak pasien yang tekanan darah sehari-harinya normal jadi naik saat bertemu dengan dokter, dikira hipertensi lalu dikasih obat, padahal tidak ada indikasi apapun. Anak-anak menangis bertemu dokter dan perawat , takut disuntik? Bukan, tapi takut baju serba putih yang dikenakan. Para pasien penyakit jiwa jadi tidak kooperatif saat bertemu. Hal ini mengubah para spesialis anak dan ahli jiwa di negara maju. Putih-putih mereka tanggalkan, dengan name tag sederhana di sakunya, berkostum biasa tapi rapi mereka menghadapi pasien.
Lalu apakah jas putih menjadi tidak penting lagi? Tidak juga. Jas putih masih memiliki fungsi sebagai alat perlindungan kerja. Seperti masker, sarung tangan, pakaian putih melindungi kita dari noda, cairan, darah mengenai kita. Warnanya yang putih, mudah kotor, sehingga mengingatkan kita untuk mengganti jas agar selalu bersih, menghindari penularan kuman dari satu pasien ke pasien lainnya.Â
Kembalikan fungsi pakaian putih menjadi alat perlindungan kerja, bukan alat perlindungan lainnya. Alat perlindungan kerja dipakai hanya saat bekerja di lingkungan kerja. Beberapa pasien lebih mau mendengarkan para ‘pekerja’ yang mengenakan jas putih, dan ini meningkatkan kepatuhan pasien pada pengobatan.
Jadi kesimpulannya, memakai pakaian serba putih atau tidak, dikembalikan kepada penilaian dan kepentingan utama sebagai tenaga kesehatan: PASIEN. Bila menguntungkan pasien, memang harus dikenakan. Bila ia merugikan, lepas saja. Toh identitas akan tetap terlihat dari pikiran, tergambar dari pilihan tutur kata, dan gerak gerik bahasa tubuh. Bila memang cerdas dan tetap ramah, tidak akan ada yang bisa memungkiri. kepiawaiannya sebagai pemberi layanan kesehatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H