Stunting bukan sekadar masalah pertumbuhan fisik anak yang terhambat. Ia adalah cerminan dari kegagalan sistemik dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia: gizi yang layak, pendidikan kesehatan, dan akses terhadap fasilitas sanitasi. Di negeri yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia, keberadaan stunting menjadi ironi yang mencolok. Bagaimana mungkin, di tengah potensi alam yang melimpah, generasi penerus bangsa masih terjerat dalam lingkaran kemiskinan gizi?
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) menunjukkan prevalensi stunting Indonesia telah menurun, dari 30,8% pada 2018 menjadi 21,6% pada 2022. Namun, angka tersebut masih jauh dari standar yang ditetapkan WHO, yaitu di bawah 20%. Pemerintah melalui target ambisius menurunkan angka stunting menjadi 14% pada 2024 telah mengalokasikan berbagai sumber daya, termasuk program pemberian makanan tambahan, edukasi gizi, serta akses sanitasi yang lebih baik. Tapi, apakah strategi ini cukup?
Jika kita menelaah lebih jauh, akar dari masalah stunting tidak hanya terletak pada kurangnya asupan gizi. Sebagaimana disebutkan oleh sebuah studi dalam jurnal The Lancet (2016), faktor multidimensional seperti kemiskinan, pendidikan ibu yang rendah, akses terhadap air bersih, serta budaya lokal turut memperparah situasi. Contohnya, di Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia, budaya makan keluarga yang mengutamakan kepala keluarga laki-laki sering kali menyisakan makanan bergizi lebih sedikit untuk anak-anak dan ibu.
Lebih dari itu, sistem distribusi pangan yang tidak merata juga menjadi hambatan besar. Indonesia, sebagai negara kepulauan, menghadapi tantangan logistik dalam mendistribusikan makanan bergizi ke daerah-daerah terpencil. Sebuah laporan dari Bank Dunia (2022) menyoroti bahwa 60% anak-anak di daerah terpencil, seperti Papua dan Maluku, masih mengalami kekurangan akses terhadap bahan pangan bergizi. Fakta ini menunjukkan bahwa intervensi lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah tertentu menjadi lebih mendesak daripada pendekatan "satu untuk semua."
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menginisiasi program senilai $28 miliar untuk memberikan makanan bergizi gratis kepada ibu hamil dan anak-anak. Namun, kritikus mempertanyakan kelayakan fiskal program ini. Seperti dikemukakan oleh ekonom Faisal Basri, alokasi anggaran yang besar tanpa perencanaan matang berisiko menambah beban utang negara dan memunculkan potensi korupsi dalam distribusi. "Tanpa pengawasan ketat, anggaran sebesar itu bisa menjadi ladang baru bagi praktik penyelewengan," ungkapnya dalam diskusi publik (2024).
Di sisi lain, keberhasilan program ini sangat tergantung pada sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam praktiknya, koordinasi lintas sektor sering kali menemui kendala. Salah satu contohnya adalah Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), yang hingga kini masih menghadapi masalah pengumpulan data akurat di lapangan. Data yang tidak valid menjadi penghambat besar dalam menyasar kelompok yang paling rentan terhadap stunting.
Namun, di tengah tantangan tersebut, ada harapan. Beberapa daerah seperti Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan telah berhasil menurunkan angka stunting secara signifikan melalui pendekatan berbasis komunitas. Melalui kolaborasi antara pemerintah daerah, LSM, dan tokoh masyarakat, Dalam memprioritaskan edukasi gizi bagi ibu hamil dan menyusui serta memberikan akses air bersih di desa-desa terpencil. Pendekatan ini menunjukkan bahwa solusi berbasis lokal dengan melibatkan komunitas dapat memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan program nasional yang bersifat top-down.
Selain itu, sektor swasta juga dapat memainkan peran penting dalam mengatasi stunting. Perusahaan-perusahaan besar di bidang pangan, seperti PT Indofood atau PT Nestle Indonesia, memiliki tanggung jawab sosial untuk meningkatkan edukasi gizi melalui produk-produk yang lebih sehat dan terjangkau. Sebuah studi dari Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam menyediakan makanan fortifikasi dapat menurunkan prevalensi kekurangan gizi hingga 15% dalam kurun waktu lima tahun.
Jika ditelusuri lebih dalam, stunting bukan hanya masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Anak-anak yang mengalami stunting memiliki risiko lebih besar terhadap rendahnya kemampuan kognitif, prestasi pendidikan yang buruk, dan produktivitas ekonomi yang rendah di masa dewasa. Dalam sebuah laporan dari UNICEF (2021), setiap dolar yang diinvestasikan untuk mengatasi stunting menghasilkan manfaat ekonomi hingga $18 dalam jangka panjang.
Maka, kunci keberhasilan dalam mengatasi stunting di Indonesia terletak pada keberanian untuk berinovasi, komitmen lintas sektor, dan pengawasan yang ketat terhadap implementasi kebijakan. Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bersinergi dalam memprioritaskan masa depan generasi penerus. Karena membangun masa depan tanpa stunting bukan hanya tentang menciptakan individu yang sehat, tetapi juga mewujudkan bangsa yang kuat, tangguh, dan berdaya saing di kancah global.