Mohon tunggu...
Ades Suntama
Ades Suntama Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Sosial

Ades Suntama adalah seorang aktivis sosial, dan penulis yang sangat terlibat dalam berbagai organisasi sosial dan kepemudaan. Sebagai aktivis sosial, ia bekerja keras untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial, sering kali terjun langsung ke lapangan untuk mengorganisir aksi-aksi damai dan mendukung kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Keterlibatannya di berbagai organisasi sosial menunjukkan komitmennya untuk terus mendorong perubahan positif di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Depan Kesetaraan Gender di Era Society 5.0

10 Januari 2025   20:23 Diperbarui: 10 Januari 2025   20:23 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Society 5.0, sebuah konsep yang dicetuskan Jepang, menawarkan visi yang memadukan teknologi canggih dengan kebutuhan manusia secara holistik. Era ini menjanjikan revolusi yang lebih besar dari sekadar otomatisasi; ia hadir sebagai sistem yang dirancang untuk mendukung kesejahteraan individu melalui kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data. Namun, dalam lanskap ini, tantangan mendasar tetap menghantui: kesetaraan gender. Apakah Society 5.0 mampu melampaui batasan struktural dan kultural yang telah lama mengakar, atau justru akan memperkuat ketidaksetaraan yang sudah ada?  

Teknologi sering dipuji sebagai alat pembebas. Dalam *Global Gender Gap Report* (2023), World Economic Forum menyoroti bagaimana perkembangan teknologi telah membuka peluang baru bagi perempuan. Platform pembelajaran daring, misalnya, telah memungkinkan perempuan di daerah terpencil untuk mengakses pendidikan yang sebelumnya tak terjangkau. Kesempatan untuk memperoleh keterampilan digital yang relevan kini menjadi lebih inklusif. Selain itu, ekonomi digital, melalui platform seperti Upwork, Shopee, dan Etsy, memungkinkan perempuan menjalankan usaha kecil secara mandiri, membebaskan mereka dari keterbatasan tradisional seperti hambatan geografis dan bias pasar tenaga kerja konvensional.  

Namun, kehadiran teknologi ini tidak sepenuhnya netral. Penelitian yang dilakukan oleh Joy Buolamwini dan Timnit Gebru (2018) dari MIT Media Lab mengungkap bias dalam sistem kecerdasan buatan. Sistem pengenalan wajah, misalnya, menunjukkan tingkat kesalahan yang jauh lebih tinggi untuk perempuan, terutama perempuan kulit berwarna, dibandingkan dengan laki-laki kulit putih. Data pelatihan yang digunakan dalam pengembangan teknologi ini cenderung tidak inklusif, mencerminkan dominasi laki-laki kulit putih dalam representasi dataset. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi berpotensi untuk mendobrak ketidaksetaraan, ia juga bisa memperkuat bias struktural jika tidak diawasi dengan kritis.  

Kasus Amazon pada tahun 2018 memberikan bukti nyata lainnya. Perusahaan tersebut mengembangkan algoritma rekrutmen yang, secara tidak langsung, mendiskriminasi pelamar perempuan. Sistem tersebut "belajar" dari data historis yang mencerminkan dominasi laki-laki di posisi-posisi strategis, sehingga secara otomatis menurunkan peringkat pelamar perempuan. Ketika teknologi dikembangkan tanpa mempertimbangkan dinamika sosial yang kompleks, ia cenderung mereplikasi ketidakadilan yang telah ada, bukannya menghapusnya.  

Salah satu tantangan mendasar lainnya dalam mencapai kesetaraan gender di era Society 5.0 adalah kesenjangan keterampilan digital antara laki-laki dan perempuan. UNESCO (2022) melaporkan bahwa hanya 35 persen siswa perempuan yang memilih bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). Angka ini menunjukkan adanya hambatan yang bersifat struktural maupun kultural. Perempuan kerap kali menghadapi stereotip yang menganggap mereka kurang kompeten atau tidak cocok di bidang teknologi. Bahkan dalam masyarakat modern, stereotip semacam ini terus membatasi ruang gerak perempuan, baik dalam pendidikan maupun dalam pilihan karier.  

Kesenjangan ini berdampak lebih jauh. Dalam laporan McKinsey Global Institute (2021), ditemukan bahwa perempuan lebih rentan kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi dibandingkan laki-laki. Sektor-sektor yang didominasi perempuan, seperti administrasi dan manufaktur, cenderung mudah tergantikan oleh teknologi. Meskipun pekerjaan baru berbasis teknologi terus bermunculan, perempuan sering kali tertinggal karena kurangnya keterampilan yang relevan. Tanpa kebijakan pendidikan yang inklusif dan berfokus pada pemberdayaan perempuan di bidang STEM, kesenjangan ini akan terus melebar.  

Pemerintah memiliki peran kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender di era ini. Jepang, misalnya, memperkenalkan kebijakan "Womenomics" untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Namun, efektivitas kebijakan ini sering kali terbatas oleh hambatan budaya patriarkal yang masih kuat. Banyak perempuan yang terpaksa menerima pekerjaan paruh waktu atau tidak tetap, yang tidak memberikan stabilitas ekonomi maupun kesempatan untuk berkembang.  

Selain itu, beban ganda perempuan sebagai pekerja dan pengurus rumah tangga tetap menjadi masalah yang signifikan. Tanpa kebijakan yang mendukung, seperti cuti melahirkan yang setara untuk kedua orang tua dan dukungan pengasuhan anak, perempuan akan terus dibebani tanggung jawab yang tidak proporsional. Struktur sosial yang memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi secara setara dalam angkatan kerja harus menjadi prioritas dalam desain Society 5.0.  

Namun, di balik tantangan ini, ada peluang besar. Teknologi dapat menjadi alat pemberdayaan yang revolusioner jika dirancang dengan inklusivitas sebagai prinsip utamanya. Organisasi seperti Girls Who Code telah membekali ribuan perempuan muda dengan keterampilan pemrograman yang relevan, membuka jalan bagi mereka untuk bersaing di sektor teknologi. Kampanye global seperti HeForShe juga telah meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kolaborasi lintas gender dalam memperjuangkan kesetaraan.  

Selain itu, inisiatif global seperti UN Women terus mendorong perubahan kebijakan dan praktik yang mendukung kesetaraan gender. Di era Society 5.0, teknologi seperti blockchain dan AI dapat digunakan untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan inklusif, misalnya dalam proses rekrutmen atau distribusi sumber daya. Namun, ini hanya mungkin jika ada pengawasan kritis dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun