Munculnya berbagai gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi sedikit banyak disebabkan oleh masalah keuangan. Ketidakberimbangan dana atau yang dikenal transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah adalah pemicunya. Daerah-daerah yang merasa memiliki sumber daya alam yang melimpah mengingkan "jatah" yang lebih besar sesuai dengan proporsi yang disumbangkan daerahnya.
Potensi daerah yang strategis dikuasai pemerintah pusat. Trilyunan tambang nikel (Antam dan Inco) di Sultra setiap tahunnya nyaris hanya 10 persen yang dikembalikan ke APBD Sultra, sementara APBD Sultra sendiri cuma Rp. 1,2 T (2010). Entah bagaimana perhitungannya. Seharusnya daerah juga ikut dilibatkan saat perhitungan/pembagian dana tersebut.
Ketidakadilan dalam pembagian sumber-sumber keuangan antara pusat dan daerah inilah penyebab terjadinya peningkatan kesenjangan pertumbuhan ekonomi antardaerah, kurangnya kemandirian daerah dan munculnya ketidakpuasan masyarakat di daerah. Ketidakpuasan ini jika dibiarkan berlarut-larut dapat memicu timbulnya keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Kecenderungan ini sudah bukan menjadi sesuatu yang sifatnya laten lagi, tetapi sudah dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang mengarah kepada makar. Mulai dari demonstrasi yang dilakukan oleh daerah tertentu sebagai ekses dari euforia demokrasi yang hiperbola seperti ingin mendirikan Negara Riau Merdeka, sampai pada gerakan bersenjata seperti Gerakan Aceh Merdeka ataupun pembentukan Negara Papua yang menginginkan berkibarnya bendera Bintang Kejora di irian Jaya.
Sebenaranya keinginan untuk berbagi sumber-sumber keuangan secara berimbang sudah diakomodir melalui mekanisme desentralisasi, yakni penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Hanya saja mekanisme itu tidak direalisasikan sebagaimana ruhnya. Entah rakyat di daerah yang kurang menghayati hakikat desentralisasi sehingga tidak protes kebijakan yang selama ini diperagakan pusat, atau pemimpin di daerah sudah cukup puas dengan mekanisme dekonsentrasi yang hanya menguntungkan pejabat daerah dan peruntukannya juga tidak tepat sasaran.
Kewenangan yang diserahkan sedianya disertai dengan sumber pendanaan selain sarana dan kepegawaian, sehingga dana tersebut menjadi sumber keuangan daerah, bukan dana tersebut dilimpahkan kepada kepala daerah yang untuk mendapatkannya harus dengan negosiasi/lobi. Daerah bisa kaya, bisa membangun yang lebih substantif dari sekedar melaksanakan proyek pusat, apabila desentralisasi itu tidak setengah-setengah dilaksanakan. Pusat yang sedianya memiliki kewajiban menyerahkn kewenangn (kekuasaan, uang dan fasilitas) kepada daerah, malah menampilkn sikap arogansi. Wallahu'Alam (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H