Mohon tunggu...
Ade Suerani
Ade Suerani Mohon Tunggu... -

Orang Muna, tinggal di Kendari Sultra.\r\nklik juga :\r\nadetentangotda.wordpress.com\r\nadesuerani.wordpress.com\r\nadekendari.blogdetik.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Negara Salah Urus

9 Februari 2010   14:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:00 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinas Kesehatan (Dinkes) Sultra mengeluh anggaran penyuluhan untuk pencegahan DBD sejumlah Rp. 6,6 juta, jelas tidak mampu untuk mengakomodasi satu Sulawesi Tenggara. Hal yang sama diungkap Dinas Sosial (Dinsos) Sultra mengelola empat panti sosial dengan anggaran Rp. 2 M, jelas tidak mampu memenuhi standar pelayanan minimal. Akhirnya, Dinsos kini dalam upaya mengembalikan pengelolaan panti ke pusat (baca : Kementerian Sosial). Demikian hal ini terungkap dalam Rapat Kerja Komisi IV DPRD Sultra, awal bulan ini.

Prolog diatas hanyalah persoalan mikro dari begitu banyak persoalan mendasar di setiap daerah karena negara ini salah di urus. Tidak sedikit persoalan seperti ini terabaikan karena ketiadaaan dana. Pemerintah daerah kerap berdalih tidak ada anggaran, karena APBD dipastikan 40 – 50 persen digunakan untuk belanja rutin pegawai.

Satu dekade sudah otonomi daerah berlangsung. Penyelenggaraan pemerintahan atas urusan/wewenang yang sudah diserahkan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom tidak berjalan optimal. Namun, hal ini tidak sepenuhnya menjadi kekeliruan pemerintah daerah, melainkan inkonsistensi pemerintah pusat, kalau tidak mau disebut serakah.

Dalam hal penyerahan kewenangan (desentralisasi) pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, ada konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud, karena semua beralih ke daerah otonom. Artinya, kewenangan itu menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Berbeda dengan konsep mandatum atau mandat, sebagaimana istilah dekonsentrasi yakni pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur .

Undang-undang otonomi daerah mengamanatkan agar disetiap urusan/wewenang yang diserahkan wajib padanya disertai dengan sumber pendanaan, sarana dan prasarana, serta kepegawaian. Selanjutnya, sumber pendanaan dimaksud menjadi sumber keuangan daerah/APBD. Namun, apa yang kita saksikan urusan kesehatan dan sosial (prolog diatas) yang diserahkan ke daerah tidak disertai pendanaan, apalagi sarana dan prasaran serta kepegawaian.

Urusan-urusan itu justru dikemas dalam bentuk pelimpahan/dekonsentrasi, sehingga pemerintah pusat merasa masih memiliki wewenang. Disetiap urusan/wewenang melekat kekuasaan, fasilitas dan uang. Inilah yang diperagakan pemerintah pusat melaksanakan otonomi daerah dengan setengah hati. Pengebirian ini dapat dilihat dengan program-program pusat seperti PNPM Mandiri, KUR, BOS, Jamkesmas dan lain sebagainya yang semestinya menjadi urusan pemerintahan daerah malah dikelolanya, sehingga permasalahan mendasar kesehatan, ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan lain sebagainya tidak selesai-selesai.

Contoh kongkrit dari kebijakan yang keliru ini adalah persoalan pendidikan di Sultra. Hingga tahun 2009, ada 22 ribu anak putus sekolah akibat ketiadaan biaya. Kepala Dinas Pendidikan Sultra mengatakan, problem itu dapat diatasi dengan dana Rp. 150 Milyar. Dana itu sangat berpeluang mampu membangunan gedung sekolah, pengadaan meja kursi, seragam hingga perlengkapan sekolah lainnya. Dinas Pendidikan Sultra pada 2009 menerima dana BOS sebesar Rp. 600 M dari pusat (Kendari Pos, 19 Oktober 2009). Dana itu diperuntukan untuk membiayai program kegiatan yang disusun pemerintah pusat seperti lomba-lomba, kesenian dan pelatihan. Bandingkan dengan APBD Sultra pada saat itu hanya Rp. 1 Trilyunan yang setengahnya untuk membiayai rutin aparatur yang tersebar di lebih dari 30 SKPD.

Kalau saja anggaran Rp. 600 M diberikan sebagai sumber keuangan daerah/APBD, maka pemerintah daerah dengan pengawasan DPRD akan mendistribusikan anggaran tersebut sesuaiaspirasi dan kebutuhan ril masyarakat Sultra akan pendidikan. 22 Ribu anak putus sekolah teratasi, masih ada Rp. 450 Milyar yang bisa diperuntukan untuk pendidikan yang benar-benar gratis.

Kalau saja anggaran PNPM, KUR, Jamkesmas, dll yang dipastikan jumlahnya trilyunan rupiah masuk sebagai sumber keuangan daerah/APBD, maka kesejahteraan masyarakat Sultra tentu kondisinya jauh lebih baik dari saat ini, karena selain memangkas birokrasi yang terlibat dalam pengelolaan anggaran itu, juga peruntukan dananya dipastikan sesuai kebutuhan ril masyarakat. Akhirnya, harus diakui Indonesia sebenarnya kaya raya, uang ada dan banyak, cuma salah kelola, jadilah negara salah urus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun