Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Merawat Demokrasi di Indonesia "Unus Pro Omnibus, Omnibus Pro Uno"

18 Juli 2024   06:44 Diperbarui: 18 Juli 2024   07:12 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sebagai negara dibangun di atas fondasi prmusyawaratan telah menjadi batu penjuru bagi keberlangsungan hajat hidup segenap rakyat Indonesia, hal ini merupakan produk revolusi Indonesia menuju kemerdekaan, bukan saja dengan perjuangan tumpah darah anak bangsa, kemrdekaan yang didapat hari ini merupakan hasil kesepakatan para wakil-wakil golongan marxis, islamis dan nasionalis. 

Menurut Soekarno Indonesia didirikan Bersama "semua buat semua" bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan di mana untuk mencapai suatu negara yang berdemokrasi hendaknya bukanlah demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup (Soekarno, 1 Juni 1945). Menurutnya Negara Indonesia bukanlah negara untuk satu orang, bukan pula negara untuk satu golongan tetapi "satu buat semua, semua buat satu", oleh karena penting baginya menjadikan satu butir atau pilar dalam Pancasila. 

Demokrasi sebagai hasil produk barat diadopsi oleh para tokoh-tokoh bangsa dengan cara yang lebih menyentuh esensi dari latar belakang kebangsaan Indonesia. Berdasarkan ini para peletak dasar negara Indonesia telah mewarikan kepada penerusnya nasionalisme egaliter yakni nasionalisme yang lebih kebangsaan dan kerakyatan dibandingkan nasionalisme hirarkis yang ciri-ciri etnis dan elitis.

Soekarno dan para tokoh bangsa lain menemukan dasar membangun kehidupan bangsa yang lebih egaliter melalui kesepakatan bersama "satu buat semua, semua buat satu" Unus pro omnibus, Omnes pro uno dengan menghindari cita rasa nasionalisme yang mengangkat keunggulan salah satu etnis maupun elitis. Hal ini menjadi titik kesuksesan rakyat Indonesia dalam bernegara yang tak dimiliki oleh negara lain dalam memupuk nasionalisme dan merawat iklim demokrasi.

Akar Historis Demokrasi

 Peran penting Soekarno pada masa revolusi kemerdekaan tak dapat kita pungkiri, sebagai seorang orator karismatik, Soekarno berhasil mengangkat moral bangsa dan memeprsatukan kelompok-kelompok berbeda Haluan untuk menyatukan mereka pada tujuan bersama yakni kemerdekaan serta hidup bernegara, menyeimbangkan antar kepentingan kelompok dan mengakomudir persamaan hak sebagai warga negara dalam bingkai negara kesatuan. 

Menurut pandangan saya, sebagai pemimpin cerdas Soekarno berhasil menerjemahkan serta meracik sariparih pemikiran para pendahulunya dalam bingkai Pancasila, salah satu pemikiran penting yang berhasil diterjemahkan Soekarno dalam butir keempat Pancasila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah hasil refleksi M. Hatta tentang demokrasi, dalam pandangannya terdapat tiga pokok penting yang perlu dirawat dalam kehidupan bernegara pertama demokrasi desa yang diwarisi budaya lokal asli Indonesia yakni tradisi kolektifisme dari permusyawaratan desa berdasrakan pemahaman Hatta tentang kehidupan bermasyarakat di alam Minangkabau. Kerajaan pra-Indonesia telah mempraktikan nilai-nilai demokrasi ditaraf tertentu pada budaya Nusantara seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat serta unit politik kecil yang bersifat lokal.  

Kedua ajaran islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi yakni mengaitkan kebiasaan lokal berdasarkan ajaran inti dari teologis Islam yang melihat manusia sebagai puncak ciptaan dan mukjizat Tuhan yang paling agung dan terhormat. Ketiga paham sosialis Barat yang menurut Hatta sangat berpengaruh pada alam pemikiran kaum pergerakan kebangsaan karena dasar perikemanusiaan yang dibelahnya dan menjadi tujuannya (Hatta, 1992; 121).

 Kehadiaran Eropa di Indonesia membawa dua peradaban Eropa yakni represi imperialis dan sisi humanisme-demokrasi. Imperialisme mengerahkan segala sumber daya untuk menindas secara politik maupun secara ekonomi, tak jarang kaum imperialisme dan kapitalisme berkerja sama dengan para kaum feodal bumiputra yang kemudian menumbuhkan sikap anti penindasan dan anti feodalisme dikalangan masyarakat dan para perintis perjuangan bangsa. 

Selain represi politik dan ekonomi, secara bersamaan peradaban Eropa membawa gagasan-gagasan humanis-demokratis Eropa sebagai akibat dari gelombang pergerakan liberal dan revolusi demokratik di daratan Eropa (Stromberg, 1968: 72-78). Kaum bumiputra mulai menghayati nilai-nilai humanisme-demokrasi secara bertahap mendapatkan kesempatan mengaktualisasikan melaui kemunculan ruang publik modern pada akhir abad ke 19 di Indonesia. 

Ruang publik ini hadir dinstitusi pendidikan modern yang telah mendapat dampak langsung dari revolusi sistem pendidikan di Hindia Belanda membuka ruang keikutsertakan bumiputra dalam kegiatan pendidikan dalam sistem pendidikan Hindia Belanda, selain pendidikan kemunculan kapitalisme percetakan, klub-klub sosial bergaya Eropa seperti Budi Utomo dan SI yang berujung pada pendirian partai politik serta pembentukan Dewan Rakyat (Volkstraad). Pembentukan Volkstraad oleh kolonial Hinda Belanda ini merupakan cikal bakal bagi kaum bumiputra berproses mengenal ketatanegaraan dan sistem parlemen, dikemudian hari lewat keikutsertaan bumiputra ini berhasil mempersiapkan dirinya sendiri dalam proses penyusunan UUD sejak tahun 1942 digagas oleh oleh Prof. Soepomo yang dikemudian hari menjadi ketua Ketika memimpin panitia kecil perancangan UUD 1945 pada persidangan BPUPK (Kusuma, 2004: 49). Semuanya ini tak terlepas dari andil kamu liberat Eropa mendorong dibukanya ruang-ruang publik di tanah koloni sebagai bentu dari aplikasi  gagasan humanis-demokrasi barat selain perluasan kapitalisme di tanah koloni Belanda. 

Demokrai Paca-Kemerdekaan

 Demokrasi diberbagai belahan negara sedang mengalami kemunduran, sedangkan fenomena otoritarianisme serta kemunculan kekuatan indentitas kelompok mengalami situasi pasang dan semakin menguat. Melihat situasi ini, secara relatif Indonesia sebagai negara penganut demokrasi mencatatkan kisah sukses merawat iklim demokrasi  di tengah kemajemukan, meskipun perlu disadari bahwa perlahan demokrasi egaliter yang dibanggakan itu semakin memudar.

 Pada masa revolusioner perjuangan Indonesia (1949) nasionalisme egaliter digagas oleh Soekarno dan para tokoh lainnya merupakan produk yang kita nikmati saat ini pada iklim demokrasi Pancasila Indonesia. Soekarno memprerjuangkan dan memperkenalkan nasionalisme kerakyatan dan kebangsaan kepada para tokoh seperjuangan dari perwakilan kelompok, menurutnya semua kaum baik itu marxis, muslim dan nasionalis dapat dan seharus nya Bersatu, agar sebagai bangsa kita dapat menghalau kolonialisme. Pembagian kekuasaan kemudian dipraktikan Soekarno pada masa awal kemerdaan, tanpa memuja elite feodalistik, Indonesia pada awal kemerdekaan dibangun dari fondasi rakyat biasa atau rakyat. Kata ini kemudian begitu popular dikalangan akar rumput dan menjadi semacam mitos nasionalisme baru yang bisa disetarakan dengan perjuangan dan kemerdekaan, untuk mempersatukan bangsa. 

 Para tokoh bangsa pada awal kemerdekaan bermusyawarah dan bersepkat untuk menolak pendefinisian Indonesia sebagai bangsa dalam istilah agama, baik itu menjadikan agama mayoritas Islam sebagai agama nasional maupun dengan mengamanatkan umat untuk mengikuti hukum Islam. Meskipun demikian Indonesia tidak dapat didefinisikan sebagai negara sekular, dikarenakan berdasarkan filosofi Pancasila telah disepakati bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah satu kewajiban bagi setiap individu dan oleh karenanya setiap individu harus menganut salah satu agama resmi yang diakui negara. Salah satu kemenangan penting nasionalisme egaliter pasca-kemerdekaan saat itu tetap merangkul dan mengakomudir mereka yang lebih menyukai visi bangsa yang lebih hirarki dipanggung politik nasional Indonesia. Prinsip-prinsip egaliter yang dianut oleh Soekarno dan kawan-kawan ini kemudian berkembang dari pertempuran awal memaknai bangsa menjadi pertempuran untuk mempertahankan negara dari mereka yang menolak untuk menerima semua warga negara terlepas dari etnis dan agamanya harus memiliki hak yang sama dan status politik yang setara. Nasonalisme egaliter Indonesia tidak lah sempurna dan terhindar dari tantangan, namun memberi kekuatan yang tak pernah habis untuk terus memperjuangkan dan merawat demokrasi di alam Indonesia. 

Warisan Demokrasi 

 Sistem kelembagaan dan warisan birokrasi yang ditinggalkan kolonial Belanda memiliki efektivitas dalam sistem pemerintahannya, selain itu juga sistem tata hukum, Pendidikan serta tata kelelola ekonomi yang efektif. Di bawah rezim Soeharto terdapat dua domain yang dibangkitkan lagi oleh Soeharto dan kedua domain ini berjalan dengan efektif. Pertama kapasitas negara, mengadopsi ulang tata kelola pemerintahan Belanda yang efektif di masa Hindia Belanda dengan sistem administrasi tertata, kurang mendapat perhatian pada dua dekade awal setelah kemerdekaan akibat dari mobilisasi sepanjang masa revolusi perjuangan (Feith, 1962). Kurangnnya tatalaksana pemerintahan ini sebagai buntut dari ketidak percayaan Soekarno pada partai politik dan kaum birokrat. Di masa Soeharto melalui pembenahan dan rekonstrusi secara menyeluruh terhadap negara Indonesia, rezim Soeharto mengalami stabilitas. Soeharto menggunakan militer sebagai jantung politik orde baru dengan cara menempatkan mereka dalam parlemen. Penanaman investasi melalui penataan ulang birokrasi, peningkatan penerimaan negara dari pulihnya pertumbuhan ekonomi dan penanaman modal asing merupakan bagian dari rekonstrusi tatanan negara.

 Soeharto mempercayakan kaum militer duduk pada posisi-posisi strategis dikementrian pemerintah, hal ini bertujuan untuk memastikan partisipasi dan kesetiaan politik birokrasi. Kaum birokrat diberi ruang ikut serta dalam memajukan kehidupan bangsa lewat kegiatan swasembada beras hingga mengontrol gejolak harga bahan pokok yang vital. Pencapaian utama diera awal orde baru adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik (Hill, 1994). Hal ini berdasarkan pertimbangan rezim melihat dukungan arus birokrat terhadap orde baru, menjadikan mereka sebagai benteng melawan komunisme diawal-awal pemerintahannya.

 Area pembangun yang digalakan oleh soeharto dimasa orde baru Kedua yakni pendirian partai politik. Meskipun dibawah rezim otoriter militer, namun dukungan hampir seluruh spekturm politik sipil terhadap rezim, Soeharto tak merasa gentar untuk menghidupkan Kembali politik electoral dan sistem kepartaian yang dikontrol negara. Pendirian GOLKAR sebagai arus utama perpolitikan Soeharto yang didukung oleh kaum sipil anti komunisme dan mobilisasi massa kiri Soekarno. GOLKAR dengan cepat mendapat simpati dari masyakat di masa orde baru, namun demikian dalam praktiknya GOLKAR hanyalah kendaraan politik Soeharto dalam mengamankan kedudukan. GOLKAR secara formal bukanlah parpol melainkan organisasi payung dimana setiap organisasi politik dapat berteduh dan Bersatu, karena organisasi itu berwujud lebih seperti kementerian super birokrasi dari pada kendaraan partisan dalam istilah hukum. Golkar adalah satu-satunya partai politik dengan kehadiran mapan di tingkat lokal di seluruh Nusantara (Tomsa, 2008). Popularitas terhadap GOLKAR yang buruk pada rezim orde baru tak membuat GOLKAR runtuh dikemudian hari, justru perlu dicatat bahwa GOLKAR bermetamorfosis menjadi salah satu partai yang turus memberi dampak stabilitas demokrasi di masa transisi dan periode. 

Kesimpulan

 Sejauh ini kita perlu melihat Kembali bahwa warisan gerakan dan revolusi kaum nasionalis Indonesia telah membangun nasionalisme yang relatif egaliter, baik itu dilihat berdasarkan kelas maupun etno religius, Selain itu sumbangan dari rezim orde baru membangun partai dan organisasi negara yang relatif efektif. Dua warisan yang diberikan kepada Indonesia saat ini telah mebantu negara dalam berdemokrasi sehingga terhindar dari kejatuhan. Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahnnya sendiri, tetapi setelah mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul Kembali dengan penuh keinsafan. Demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup, sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya (Hatta, 2002)

DAFTAR ISI

Feith, H. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Hatta, M. Memoirs. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002

Hill, H., ed. 1994. Indonesia's New Order: The Dynamics of Socio-economic Transformation. St Leonards: Allen & Unwin.

Kusuma, A.B. Lahirnya Undang-Undagn Darar 1945: Membuat Salinan Dokumen Otentikbadan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan. Jakarta: Bandan Penerbbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Tomsa, D. 2008. Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post- Suharto Era. London: Routledge.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun