Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Xuan Zang Si Traveler

24 Januari 2023   20:39 Diperbarui: 24 Januari 2023   20:47 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semburat sinar matahari baru saja menembus pelataran rumah keluarga Chen Hui, melintasi sederet pegunungan di Chenha, hari itu adalah hari pertama mengawali awal tahun. 

Di rumah keluarga besar Chen Hui tampak sibuk sejak malam sebelumnya, Xuan Zang juga hadir di rumah, mereka sibuk bebenah dan mendekorasi rumah serba ornament merah sementara ibu dan ipar Xuang Zang  tampak tekun dibelakang rumah mempersiapkan sajian untuk perayaan tahun baru, sesekali Xuan Zang pergi ke belakang membantu ibu dan saudari perempuannya mengumpulkan kayu api dan merapikan dapur. 

Hari itu formasi keluarga tampak lengkap, ibunya tampak girang karena tahun ini anak bungsu dari empat orang anaknya dapat berkumpul bersama mereka merayakan imlek terkecuali si sulung yang menetap di salah satu biara pertapaan. 

Ayah Xuan Zang sudah lama meninggal saat Xuang Zang baru beranjak remaja tahun, Chen Hui adalah seorang administrator di wilayah Jiangling pada masa dinasti Sui.

Ketika fajar menyingsing semua anggota keluarga telah bersiap menuju klenteng di wilayah Chenha, Langkah ibu tampak riang mendahului anak dan menantunya sementara Xuan Zang bersama saudara lainnya mengikuti langkah ibu dari belakang. 

Setelah melakukan penghormatan, mereka kembali ke rumah, tampak dipelataran, bocah-bocah kecil, cucu Chen Hui sudah mengenakan seragam baru serba merah,  baju-baju itu dipesan ibu dari salah satu penjahit terbaik di desa, dari kejauhan bocah-bocah berbaju merah seperti ornamen pelengkap imlek tahun ini bagi ibu. 

Mereka berlari ke sana ke mari sambil memantik petasan yang meledak-ledak seperti letupan kayu bakar basah pada tukung di dapur ibu. Senyum tersungging dibibir ibu yang diberi gincu sebelum ke klenteng, ia nampaknya bahagia. 

Saat ini tahun 627 menurut penanggalan cina, berdasarkan perhitungan tahun ini jadi keberuntungan bagi Xuan Zang karena bertepatan dengan perhitungan astronomi cina yakni Shio Anjing yang merupakan Shio keberuntungannya.

Rumah tampak ramai, masyarakat di kampung berkumpul dipelataran rumah keluarga Chen Hui, tampak ibu sibuk membagikan panganan dan manisan yang sudah disiapkannya sejak tengah malam tadi, maklum saja keluarga Chen Hui cukup terpandang dikalangan masyarkat setempat. Suasana jadi tampak berbeda dengan kehadiran Xuan Zang si biksu muda dari biara di Chengdu. 

Ini jadi pengalaman pertama baginya sejak terakhir kali ia merayakan imlek bersama keluarga lima belas tahun yang lalu. Ibu Xuan Zang merekam dalam ingatan tentang si biksu muda itu, ia bercerita "sedari kecil ayah Zang mengajarkan padanya membaca dan menulis, kau seperti bapa mu. Lebih memilih bersembunyi di ruang kerja ayah untuk membaca tulisan-tulisan pada gulungan kertas itu. 

Aku kehilangan Xuan Zang kecilku sejak saat itu". Suasana tampak senyap ketika semua telinga dalam ruangan itu mendengar kata per kata yang keluar dari mulut wanita paruh bayah itu sembari semua mata tertuju pada biksu muda berbalut Kya jubah yang terdiri dari penggabungan tiga helaian kain yang dijahit menyatu yaitu antarvsa, uttarsaga, dan samghti yang disebut tricvara

Suasana riang tahun baru Imlek pada hari itu tiba-tiba menjadi muram durja, selebrasi hari raya berubah menjadi pengadilan bagi si biksu muda oleh keluarga besarnya. 

Keluarga besar Chen Hui sudah mengetahui prihal maksud dan tujuan kedatangan adik bungsu mereka berkunjung ke rumah ibunya. Ia datang hendak berpamitan kepada ibunya untuk selanjutnya akan melakukan perjalanan yang jauh, ke negri-negri dibalik pegunungan Chenha, menuju negri-negri antah barantah di pegungungan Himalaya, mencari jejak-jejak Siddhartha Gautama, ke negeri orang Aria. 

Sejak kecil Xuan Zang sudah diperkenakkan dengan sastra dan semenjak menjadi Sramenera novis pertapa Buddha, ia semakin menekuni dunia ilmu pengetahuan dengan membaca sastra Mahayana

Saat ditabiskan menjadi biksu pada usia duapuluh tahun Xuan Zang menjadi terobsesi untuk menemukan tulisan ajaran buddha dan memperdalam keilmuan. Keluarga besar menyadari bahwa sidang keluarga hari itu tak akan merubah niat dan rencananya untuk menghadapi segala aral dalam perjalanannya.

Setelah perayaan musim semi berakhir pagi-pagi buta Xuan Zang  berpamitan dan meminta restu ibu, perjalanan Zang ke negeri para dewa diiringi doa penyertaaan ibu.  

Xuan Zang melakukan perjalanan dari tanah kelahirannya dengan kuda hadiah dari pamannya serta bekal yang dikantonginya pada ransel rotan dipundaknya. Ia melihat perjalanan ini penting baginya untuk menambah hasanah cara pandangnya terhadap dunia dan keyakinan pada ajaran yang didalaminya, ditemani seekor kuda Zang melakukan perjalanan melintasi pegunungan dan menembus setapak pada hutan di wilayahnya, setelah melewati batas-batas wilayah tiongkok tibalah dia di gurun Gobi- Mokia Yen, gurun yang tak bertepi dengan pasir yang membentang seperti sutra yang melambai-lambai ditiup angin serta sengatan matahari sebagai atap gurun dan diselimuti dingin gurun menusuk hingga ke tulang pada malam hari. 

Ia tersesat selama berhari-hari membuat putus asa menghinggapinya seperti Minerva yang bertengger kaku pada ranting pohon ara, kehabisan air dan persediaan makanan membuat Zang kehabisan asa, namun sekonyong-konyongnya si kuda teman seperjalannya memandunya keluar dari Gobi.

Jalur sutra jadi jalan penghubung satu-satunya menuju India dengan segala gosip yang menakutinya sebelum melakukan perjalanan, Xuan Zang memberanikan diri melintasi selama berbulan-bulan menghadapi bandit berkuda yang saling serang dan menjarah satu sama lain di jalur yang bukan lagi jadi jalur sutra namun neraka bagi para pedagang dan peziarah yang melintasi.  

Namun perjalan nekat Xuan Zang membuatnya menjadi dikenal dan populer seiring bergulir waktu oleh para penduduk disekitar jalur sutra. Minat Xuan Zang pada ilmu pengetahuan membuat Zang menjadi betah di jalan, bercerita dan mengajar penduduk, mengenal budaya dan belajar bahasa penduduk asli, serta ia membuat catatan jalur perlintasan baru bagi para peziarah asal tiongkok kelak, ia membuat perlintasan baru untuk mengunjungi para pertapa dan biara di Afganistan, menuju Pakistan untuk menetap sementara untuk belajar, berjalan pada lereng-lereng Himalaya dan merekam masyarakat menghidupi ajaran-ajaran Buddha sebelum menuju India untuk tinggal dan menyerapi pengajaran Buddah serta menyebrang ke Sri Lanka mencari jejak pengajaran Buddha. 

Xuan Zang melintasi ribuan mil dan berkelana di 110 kerajaan disepanjang perlintasaannya. Zang berjalan untuk memenuhi hasrat keingintahuannya pada dunia dan keyakinannya, Xuan Zang menaruh harapan pada pengorbanan yang ia lakukan kelak mampu menjadi pengatahuan bagi saudara-saudaranya di tiongkok.

SUMBER:

ACHAYA K. T, THE STORY OF OUR FOOD, India: Universities Press (india) Private Limited, 2012

http://artsandculture.google.com/story/travels-of-xuangzang

http://en.m.wikipedia.org/wiki/XuangZang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun