Saya lahir, tumbuh dan berkembang di kampung. di kampung pula saya mulai diajarkan berpuasa.
Kampung halaman saya sekarang sudah menjadi kota. Sebagian besar dari penduduk kota kelahiran saya ini adalah orang-orang yang dulu tumbuh di suasana masih kampung. Atau setidaknya sebagian penduduknya sekarang pernah dibesarkan oleh para orang tua yang berasal dari kampung.
Oleh karena itu, nilai-nilai yang saya anut dan sebagian mereka yang hidup di kampung halaman saya juga beranjak dari nilai-nilai yang dibentuk di kampung.
Namun demikian, dalam praktik kehidupan sehari-hari masih ada dari nilai itu yang terkadang sulit bertransformasi -- berubah - menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan toleransi dengan suasana perkotaan. Termasuk toleransi dalam menjalankan puasa di bulan Ramadan.
Akibatnya, masih banyak orang yang hidup di kota tapi hendak mempertahankan cara hidup seperti di kampung. Padahal kampungnya sekarang sudah menjadi kota.
Contohnya, di kampung saya dulu, hampir 100 persen penduduknya muslim. Hanya beberapa keluarga orang Tionghoa (China Benteng) yang berdagang di kampung kami yang bukan muslim.
Tidak hanya itu, sebagian besar penduduk kampung adalah baraya (keluarga atau kerabat turun temurun) yang sangat akrab.
Nah, dalam hubungan kekerabatan itu sudah lazim terjadi seseorang menegur orang lain yang bertingkah lalu dianggap tidak patut, termasuk dalam menjalankan ibadah puasa.
Seingat saya, meski hampir semua orang di kampung kami itu muslim, tidak semua berpuasa. Banyak juga yang tidak berpuasa dengan alasan tidak kuat, karena harus bertani, menjadi tukang bangunan, atau supir angkutan jarak jauh.
Sepengetahuan saya dulu, ayah saya kerap menasehati kerabatnya yang tidak puasa, baik secara langsung maupun dalam bentuk omelan untuk jadi peringatan terhadap kami sebagai anak-anaknya.
Begitu pun, para tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat tak sungkan memberi peringatan dengan teguran keras bila ada orang yang tidak berpuasa, dan terang-terangan menunjukkan ketidakpuasaannya kepada orang lain.