Di daerah pedesaan di mana saya tinggal, sampah menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaannya.
Hal itu lantaran di desa saya tidak ada lembaga yang mengelola sampah secara khusus, sebagaimana layaknya pengelolaan sampah di perkotaan, sampah diangkut dari rumah ke rumah menggunakan gerobag dan mobil atau truk sampah untuk di bawa ke tempat pembuangan akhir sampah (TPAS).
Jadi, di desa saya pengelolaan sampah sepenuhnya dikelola oleh masing-masing warga. Dan biasanya sampah kering dan plastik akan dibakar di ruang terbuka pekarangan di samping atau belakang rumah.
Persoalannya, pembakaran terbuka yang dilakukan kadang terkendala dengan masih tercampurnya sampah kering, plastik, dan sampah dapur rumah tangga yang basah.
Akibatnya, untuk mengurangi atau mengurai sampah tidak bisa dilakukan setiap hari lantaran menunggu sampai sampah kering terlebih dahulu, kemudian baru bisa dibakar.
Belum lagi saat musim penghujan, praktis sampah semakin menumpuk di pekarangan rumah. Kadang sampah berserakan lantaran diacak-acak oleh ayam yang tentu saja mengganggu pemandangan.
Persoalan lain kemudian timbul karena tidak semua rumah tangga memiliki pekarangan yang cukup memadai untuk menimbun dan membakar sampahnya sendiri.
Tak banyak pilihan bagi sebagian warga, mereka terpaksa membuang sampah di tempat lain yang bukan lahan miliknya, seperti kebun tetangga yang tak berpenghuni atau bahkan membuang sampah di jalanan secara sembarangan.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, terlebih sampah yang dibuang sembarangan didominasi oleh sampah yang sulit terurai seperti sampah plastik, pampers (popok bayi), botol-botol beling hingga limbah rumah tangga bekas wadah makanan olahan cepat saji yang sulit terurai di alam bebas.
Nah, terkait hal itu sejak sepuluh tahun lalu saya berinisiatif membuat alat pembakaran sampah sederhana di belakang pekarangan rumah. Kebetulan saya memiliki lahan pekarangan yang cukup luas.