Saya menyikapinya secara positif saja kemunculan era digitalisasi bacaan yang terjadi saat ini.
Walaupun saya tahu, bacaan versi digital yang beredar di kantor atau media massa versi digital kurang asyik membacanya lantaran seperti tak ada penghayatan dalam membaca, sebagaimana jika membaca buku - bacaan - versi cetak.
Sepengalaman saya, membaca buku cetak itu jauh lebih romantis daripada membaca buku versi digital, mau apapun itu bentuk bukunya.
Dan biasanya kalau kita membaca buku cetak itu cenderung lebih reflektif daripada kita membaca dari internet.
Di lingkungan keluarga dimana anak-anak sekolah, sejak kasus Pandemi Covid-19 melanda, anak-anak pun sudah mulai mengenal digitalisai untuk keperluan belajarnya, sebut saja daring, melaui berbagai media seperti google classcroom, google meet, zoom meeting, whatsapp dan ruang guru serta berbagai aplikasi belajar yang canggih lainnya.
Hal tersebut berlaku bagi pegawai yang bekerja di kantor-kantor dan juga bagi anak-anak yang masih usia belia yang masih duduk di sekolah dasar sekali pun.
Ya tidak heran jika setiap anak-anak sekarang lebih berketergantungan dengan smartphone-nya. Mungkin tetap memakai buku cetak pelajaran sekali-sekali, jika memang gurunya menyuruh si anak membukanya.
Terbiasa akan smartphone ini yang akhirnya bisa saja meningkatkan rasa malas untuk membaca buku cetak -- yang jumlahnya kian hari semakin terbatas.
Hal itu lantaran sudah menganggap di smartphone saja bisa diakses, "Kenapa harus membuka buku lagi?". Itulah jawaban anak-anak saya ketika ditanya, "Sudah belajar belum? Ayo buka bukunya?"
Selain akses buku cetak yang kian terbatas dan adanya teknologi digital yang sudah masif, kenyataannya membaca belum menjadi gaya hidup bagi semua orang, apalagi budaya menulis yang terbilang masih minim.
Nah, itulah kenapa budaya literasi kita disebut sangat kurang dibanding negara lain.