"Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa? Ada anak bertanya pada bapaknya, tadarrus tarawih apalah gunanya?"Â
Kalimat diatas bukan sekadar pertanyaan yang disampaikan seorang anak kepada bapaknya. Namun, punya makna religius lantaran dihubungkan dengan aktivitas selama bulan Ramadan.
Saya teringat ketika masa kecil, berpuasa itu menjadi sesuatu yang amat menyiksa secara fisik. Rasa lapar dan dahaga itu memang betul-betul sangat dirasakan selama berpuasa, bahkan sampai kadang muntah dan jatuh sakit akibat tak tahan menahan lapar dan haus.
Maka tak heran, ketika kecil orang tua saya kerap memberi keringanan puasa setengah hari (sampai zuhur) bagi anak-anaknya diawal menjalankan puasa Ramadan.
Kearifan lokal puasa setengah hari (sekuatnya) di dalam keluarga tersebut saya terapkan kembali pada anak-anak saya sebagai metode latihan seorang bocah.
Pertanyaan buat apa berlapar-lapar puasa memang pertanyaan naluriah di masa anak-anak saat bulan Ramadan. Belum lagi kalau harus tadarus dan tarawih di malam harinya.
Hal itu berbeda ketika kita puasa setelah dewasa. Puasa seperti biasa saja walaupun seharian tidak makan dan minum. Tidak terasa lapar atau haus sebagimana yang kerap diungkapkan seorang bocah ketika berpuasa.
Itulah yang membedakan tingkatan puasa seseorang jika hanya menahan hawa napsu makan dan minum saja selama Ramadan, atau puasa sekadar ibadah ritual yang bersifat biologis. Yang berarti tingkatannya masih puasanya anak-anak!
Baca juga:Â Pantun Bulan Puasa Bulan Penuh Pahala
Belakangan dialog spontanitas antara anak dan orang tua itu menjadi sangat populer di bulan Ramadan, lantaran telah menjadi lirik lagu religius.