Hal ini pada akhirnya menjadi permasalahan tersendiri. Oleh karena itu perlu didorong secara intensif upaya pengembangan pangan lokal untuk menjawab permasalahan tersebut.
Baca juga: Menghalau Kemiskinan Ekstrem dengan Menjadi Petani Produktif
Usai rapat yang membahas usulan rencana kerja tahun anggaran 2025 ini, saya menghampiri dia yang tadi mengingatkan tentang pentingnya upaya pengembangan pangan lokal dalam penyediaan pangan bagi masyarakat.
Dia adalah Ida Farida, sosok Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) asal Kampung Cikondang Kelurahan Pandeglang Kecamatan Pandeglang Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Ida Farida mengaku merintis KWT Sinar Makmur bersama puluhan anggotanya. Mereka telah melakukan inovasi dan menghasilkan aneka produk pangan berbahan baku hasil pertanian lokal talas beneng di antaranya berupa stik, tepung, mi instan, keripik, brownies dan olahan lain.
“Talas beneng kaya karbohidrat bisa langsung dimakan dengan cara direbus atau digoreng,” kata wanita paruh baya itu ketika saya tanya apakah talas ini bisa dimakan langsung sebagai pengganti nasi.
Talas Beneng dari Lokal go Internasional
Talas beneng merupakan sejenis tanaman umbi-umbian mirip Talas Bogor yang lebih dulu terkenal itu.
Namun talas beneng berukuran jauh lebih besar dan berwarna kuning yang berbeda dengan umbi talas lainnya. Makanya disebut “Beneng” kependekan dari besar dan “koneng” (baca: dalam bahasa sunda, kuning).
Talas beneng sudah diakui pemerintah pusat sebagai salah satu varietas lokal kepemilikan - asal - Kabupaten Pandeglang melalui sertifikat tanda daftar Nomor 256/PVL/2017.
Kemudian tahun 2020, diterbitkan surat keputusan (SK) Menteri Pertanian (Mentan) Nomor 981/HK.540/c/10/2020 tentang pelepasan sebagai varietas talas unggul.
Sebenarnya, talas beneng sejak lama tumbuh secara luas di sekitar kawasan lereng Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang. Pemanfaatan pangan lokal ini awalnya hanya direbus atau digoreng untuk konsumsi warga setempat.