Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Fenomena "Waithood", Apakah Kebutuhan ataukah Sekadar Keinginan?

13 Februari 2024   18:00 Diperbarui: 17 Februari 2024   09:20 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaya Hidup Waithood (menunda menikah), Apakah Kebutuhan ataukah Hanya Sekadar Keinginan?

Menikah adalah kebutuhan bagi setiap orang. Makanya saya katakan kepadanya, “Kalau sudah mampu, jangan tunda menikah nak!.” Begitu pesan saya ketika mengantar anak laki-laki kami usai acara khitbah (lamaran) akhir tahun kemarin.

Nasihat untuk segera menikah kepada anak kedua kami itu bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua alasan syar’i (agama) mengapa jangan menunda pernikahan, apalagi sudah bertunangan!

Pertama, karena umur sang anak sudah cukup mampu secara fisik maupun spiritual menjalankan perannya sebagai orang dewasa. Perkenalan keduanya pun sudah sangat lama. Bahkan sejak semasa mereka kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Serang.

Tersebab itu, menunda pernikahan (padahal mampu) akan mengingkari kebutuhan keduanya, lantaran bisa saja mereka akan terjerumus dalam hubungan yang tidak halal sebelum syah sebagai pasangan suami istri.

Kedua, saat ini sang anak sudah bekerja dan secara ekonomi dinilai sudah cukup mampu untuk sekedar menafkahi diri sendiri dan pasangannya kelak.

Namun, memang belum cukup mampu kalau menuruti keinginan gaya hidup modern. Dengan alasan menghargai pasangan (calon istri) misalnya harus dengan melakukan resepsi pernikahan yang wah!

Sebab jika harus mengikuti keinginan seperti itu, pasti lah pernikahan itu akan tertunda dengan alasan menunggu mapan dulu dari segi finansial.

Nah, mungkin ini juga salah satu alasan penyebab mengapa keinginman gen-Z melakukan penundaan pernikahan salah satunya yakni faktor ekonomi, padahal sudah mampu secara syar’i.

Dan gaya hidup waithood ini bukan hanya terjadi pada generasi muda di luar negeri, melainkan sekarang sudah mulai berkembang di Indonesia.

Hal itu akibat keinginan yang belum sesuai dengan harapannya sebagai manusia modern yang menginginkan atau tuntutan kemapanan secara ekonomi.

Baca juga: Kalau Sudah Mampu, Jangan Tunda Menikah Nak!

Melihat fenomena waithood ini, sebagai orang tua tentu kita harus bijaksana menghadapinya. Karena pada prinsipnya, keputusan untuk menyegerakan menikah ataukah menundanya tergantung kesiapan lahir batin dari kedua belah pihak yang akan menikah.

Meskipun demikian, jangan sampai keinginan menunda menikah itu menghalangi niat baiknya sebagai orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka untuk segera berumah tangga.

Pengalaman saya sewaktu melamarkan sang anak, waktu itu kedua belah pihak hanya membicarakan sebatas pertunangan. Ini sebagai pembuktian keseriusan sang laki-laki yang sungguh-sungguh akan mempersunting putrinya. Adapun pernikahannya, baru akan dibicarakan tahun depan (baca: tahun 2024).

Nah, awal bulan Februari 2024 ini, saya mendapat kabar dari sang anak bahwa calon besan (pihak keluarga wanita) akan berkunjung ke rumah saya pada saat hari raya lebaran (idul fitri) April 2024 mendatang.

Salah satu pembicaraan yang akan dibahas adalah menentukan kapan tanggal akad nikah kedua mempelai dilangsungkan.

Saya berharap ini perkembangan yang bagus, lantaran sebelumnya saat tunangan hanya sebatas menentukan bahwa pernikahan baru akan direncanakan tahun 2024 tanpa menentukan tanggal dan bulannya.

Kelihatannya, setelah mendapatkan bimbingan dan nasehat dari kami, anak saya memilih langkah untuk mempersingkat masa tunangannya, dan segera menikah. Namun semua keputusan akan dibicarakan kedua belah pihak nantinya.

Saya sampaikan juga pesan agama kepada sang anak, bahwa katakan, “Sebaik-baik wanita (calon istri) yang penuh berkah adalah yang paling ringan maharnya (emas kawin).”

Tetapi tidak ada masalah kalau sang anak berkeinginan memberikan mahar yang lebih mahal, asal mampu. Yang terpenting semua itu jangan sampai perkara materi (harta) menjadi ukuran menunda-nunda pernikahan.

Salam Literasi

Ade Setiawan, 13.02.2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun