"Aturan Baru Memberi Rating dan Komentar di Kompasiana yang sudah saya terapkan sejak 1 Oktober 2023, sungguh membelenggu dan menyiksa," - Ade Setiawan
Ingatkah ungkapan kuno yang kerap kita dengar sehari-hari, bahwa "peraturan dibuat ada untuk dilanggar" atau "aturan tercipta untuk dilanggar".
Eh, supaya adil ! ada pepatah tandingan juga lho yang tak kalah viral berdengung bahwa "peraturan dibuat atau diciptakan untuk ditaati, bukan untuk dilanggar"
Kita memilih ungkapan pepatah yang mana, tentu sangat tergantung pada apa yang ada dipikiran, keyakinan dan nilai-nilai yang kita anut.
Tapi dalam kehidupan kita sehari-hari kayaknya praktik melanggar seperti ungkapan "peraturan ada untuk dilanggar" sudah kadung menjadi kebiasaan yang tak terhindarkan. Seolah-olah sudah mengakar -- terpatri dalam sanubari -- kuat dalam alam pikiran kita.
Tidak hanya sebuah slogan -- "peraturan dibuat untuk dilanggar" -- konon katanya sudah menjadi  bagian dari pada hobi. Ya, hobi melanggar !
Contoh kecil misalnya, pengendara sepeda motor tak menggunakan helm. Atau pemakaian masker saat Pandemi Covid-19 lalu dan lain-lain pelanggaran kecil sehari-hari yang kita lalukan tanpa disadari menjadi sebuah kebiasaan -- perilaku -- yang membudaya.
Baca juga:Â Kaleidoskop Kompasiana Periode September 2023
Namun terlepas dari soal itu -- "aturan ada untuk dilanggar" -- saya sepakat bahwa aturan harus tetap ada untuk mengatur kehidupan kita.
Makanya, saya pernah membuat tulisan "Aturan Baru Memberi Rating dan Komentar di Kompasiana" yang sudah saya terapkan sejak 1 Oktober 2023.
Dan dalam sepekan ini aturan tersebut saya praktikan sungguh membelenggu dan menyiksa. Padahal saya hanya membuat Sembilan (9) aturan saja sebagai pedoman ber-Kompasiana supaya punya aturan main buat diri sendiri, keluarga dan yang lainnya.
Aturan-aturan itu ada yang -- sadar atau tidak - dilanggar oleh saya sendiri si pembuat aturan. Hehehe
Saya jadi tidak habis pikir mengapa ketika menerapkan aturan sendiri saja begitu terasa terbelenggunya, bahkan seolah-olah menyiksa.
Apalagi ketika kita harus mengikuti aturan yang dibuat orang lain atau aturan hukum, norma, adat istiadat dan lain-lain.
Baca juga:Â Kompasianer oh Kompasianer
Saya menduga - pola pemikiran saya -- sudah tercemar oleh paradigma lama "aturan ada untuk dilanggar" Â ini yang menjadikan saya -- kita -- dan sebagian masyarakat biasa saja ketika melanggar aturan
Tentunya pola pikir "aturan ada untuk dilanggar" ini adalah kebiasaan -- perilaku - budaya - yang salah.
Untuk mengubah perilaku ini memang tidak semudah membalik telapak tangan, lantaran harus ditanamkan secara lebih kuat kepercayaan bahwa "aturan tidak untuk dilanggar".
Seberapa lama kita sudah terpapar paradigma lama -- "aturan ada untuk dilanggar" -- selama itu pula lah rentang waktu yang dibutuhkan untuk merubah menjadi paradigma baru -- "aturan tidak untuk dilanggar" -- itupun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh plus dengan aturan baru pula.
Bayangkan, jika kita sudah terbiasa melanggar aturan-aturan sejak kanak-kanak? Berapa waktu yang dibutuhkan untuk merubahnya ?
Pun demikian bukan berarti saya tak ingin berubah !
Salam, Kompasianer Ade Setiawan Junior
Pasirtangkil, 08 Oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H