Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jas Merah: Bagaimana Memitigasi Bencana Kekeringan Akibat Efek El Nino

14 September 2023   23:26 Diperbarui: 15 September 2023   03:34 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sejarah mencatat, bagaimana suatu peristiwa fenomena alam semisal El Nino yang terjadi selama bertahun-tahun dan memicu bencana kekeringan begitu dahsyat, dapat di-antisipasi, di-mitigasi, di-adaptasi dengan teliti (cermat) dan jitu (tepat benar) dengan cara seksama," - Ade Setiawan

Saat membaca/mendengar kata sejarah, ingatan saya teringat kembali kepada cerita seorang teman lama (beliau pengagum buku-buku Ir. Soekarno) setiap berjumpa dia acapkali mengucapkan kata-kata slogan jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Belakangan saya tahu slogan itu adalah kepanjangan 'Jas Merah' yang merupakan judul Pidato Kepresidenan Sang Proklamator yang terakhir saat HUT ke-21 Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966.

Namun, pada artikel kali ini bukan tentang 'Jas Merah' buku pavoritnya teman yang ingin saya tulis, melainkan filosofisnya belajar sejarah.

Setidaknya dengan belajar dari sejarah, kita akan mengetahui kejadian pada suatu masa tentang apa, dimana, kapan, siapa, mengapa dan bagaimana fenomena suatu peristiwa terjadi.

Belajar dari kejadian masa lalu yang (mungkin saja) akan terjadi kembali sekarang (dengan fenomena yang berbeda), bencana kekeringan pernah dirasakan Bangsa Mesir (Kuno) selama tujuh tahun berturut-turut akibat kondisi cuaca ekstrim kekeringan (saat itu) yang diakibatkan oleh apa yang disebut (saat ini) fenomena El Nino.

Belajar dari peristiwa masa lampau, sejarah mencatat, bagaimana suatu peristiwa fenomena alam semisal El Nino yang terjadi selama bertahun-tahun dan memicu bencana kekeringan begitu dahsyat, dapat di-antisipasi, di-mitigasi, di-adaptasi dengan teliti (cermat) dan jitu (tepat benar) dengan cara seksama, tapi tentu tidak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, lantaran bukan proklamasi ya he-he-he

Nah, oleh karena itu mari kita belajar bersama-sama dan sama-sama belajar (dari berbagai sumber) tentang sejarah. Seperti kata teman lama saya jangan sekali-kali melupakan sejarah. Oh maaf, ternyata salah ketik. Kalimat yang pas seharusnya adalah, "DJangan Sekali-kali Meninggalkan sejarah", begitu judul pidato Bung Karno yang benar.

Kisah ini beserta penafsirannya tercatat dalam Kitab Suci Al-Qur'an dalam Surat Yusuf (QS:12) ayat 43 -- 49.

Alkisah pada suatu masa, pada zaman dahulu kala, Raja Fir'aun bermimpi. Raja Bangsa Mesir di era Kenabian Yusuf Alaihissalam ini dalam tidurnya mimpi melihat 'tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus'. Tidak ada yang dapat mentakwil mimpi tersebut, kecuali Nabi Yusuf, yang saat itu sedang berada di Mesir.

"Mesir akan mengalami tujuh tahun yang subur, maka pada tahun-tahun itu hendaklah kamu menanami tanahmu dengan gandum dan sya'ir. Kemudian hasil panennya kamu simpan dalam batang-batang gandumnya (tidak digiling) dan jangan boros dalam pemakaiannya kecuali sekedar yang dibutuhkan saja. Karena setelah itu akan datang tujuh tahun yang kering dimana kamu akan memakan persediaan gandum yang kamu simpan, dan janganlah pula dihabiskan untuk digunakan sebagai bibit bagi tanaman berikutnya," kata Nabi Yusuf.

Penggalan kutipan tersebut diatas merupakan Takwil dari mimpi Sang Raja. Nabi Yusuf bahkan menawarkan solusi untuk mengatasi masalah kekeringan yang akan terjadi. Setelah itu, akhirnya Nabi Yusuf dipercaya menjadi Bendahara merangkap Perdana Menteri Mesir. Kisah ini beserta penafsirannya tercatat dalam Kitab Suci Al-Qur'an dalam Surat Yusuf (QS:12) ayat 43 -- 49.

Menurut buku Air Dalam Perspektif Alquran dan Sains yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Pendidikan Pelatihan (Diklat) Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2011. Kekeringan yang terjadi pada era Nabi Yusuf bukanlah kejadian yang lazim terjadi, karena berlangsung selama tujuh tahun berturut-turut.

Fenomena Kekeringan tersebut bahkan tidak saja melanda Mesir, tetapi sampai juga di Palestina. Negeri di mana ayah Nabi Yusuf, yakni Nabi Yakub Alaihissalam menetap sebelum akhirnya bermigrasi ke Mesir.

Sumber air Mesir berasal dari Sungai Nil yang mata airnya sangat jauh di selatan. Maka, berkurangnya air Sungai Nil tentu saja mengakibatkan kekeringan yang meliputi wilayah yang sangat luas, paling tidak hingga tempat mata air Sungai Nil berasal.

Jika dibandingkan dengan era sekarang, siklus kekeringan yang terjadi dipengaruhi oleh mekanisme iklim global, yakni El Nino. Peristiwa ini memang terjadi dalam periode perulangan rata-rata selama tujuh tahun.

Pada periode perulangan itu, lazimnya hanya terjadi satu kali tahun kering yang berat. Umumnya disusul oleh satu tahun basah (La Nina), bukan tujuh tahun kering secara terus-menerus.

Dengan demikian, ibaratnya efek El Nino bukanlah 'fenomena' baru saat ini, lantaran pernah terjadi di zaman dulu, hanya siklusnya saja yang berbeda.

Sejarah mencatat, bencana kekeringan pernah dirasakan Bangsa Mesir (Kuno) selama tujuh tahun berturut-turut akibat kondisi cuaca ekstrim (saat itu) yang diakibatkan oleh apa yang disebut (saat ini) fenomena El Nino.

Berdasarkan kisah tersebut diatas, maka kita mendapat informasi, bahwa kekeringan sebagai akibat Efek Domino Fenomena El Nino merupakan salah satu ancaman paling serius terjadinya krisis pangan.

Mari kita ambil ibrah (pelajaran) dari kisah ini dan mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Salah satu hikmah dari kisah itu adalah suatu ancaman krisis (pangan) tidak selalu membawa bencana, tetapi bisa menjadi tantangan dan meningkatkan semangat solidaritas bersama untuk menghadapi bencana dengan tindakan terukur yakni antisipatif, mitigasi dan adaptif

Dengan adanya kepemimpinan yang amanah dan berpengetahuan diharapkan dapat membawa negara ini keluar dari ancaman krisis pangan.

Orang di zaman dulu saja bisa melakukan antisipasi, mitigasi dan adaptasi terhadap ancaman bencana secara seksama, bagaimana dengan kita yang hidup di zaman now ? Ibrah (studi tiru) apa yang bisa kita ambil dari Kepemimpinan Nabi Yusuf Alaihissalam dalam menghadapi kekeringan dan mengatasi ancaman krisis pangan ? 

Tunggu lanjutan artikel berikutnya ya !

Salam, Kompasianer Debutan Ade Setiawan (aDSe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun