Bung Karno yang berkobar-kobar pada 1 Juni 1945, Pancasila digali dan dilahirkan untuk menjadi dasar-dasar perikehidupan dan kebangsaan negara ini. Namun, sudah 66 tahun sejak itu, Pancasila masih dipertanyakan eksistensinya. Kesaktiannya kini memudar, untuk tidak mengatakan menghilang. Sepertinya, Pancasila sudah dilupakan sebagai ideologi bangsa. Bahkan upaya menggantinya dengan ideologi baru sudah terjadi sejak lama. Memprihatinkan!
Bisa dilihat, keseharian hidup masyarakat kini jauh dari nilai-nilai moral dan etika. Terlebih di kalangan elit politik dan penyelenggara negara. Banyak kebijakan mereka bergeser ke prinsip pragmatis yang mendewakan kepentingan sesaat. Itu berlawanan dengan Pancasila sebagai buah nilai luhur sekaligus ruh bangsa, yang akarnya tertanam jauh di kehidupan masyarakat kita sejak dahulu kala.
Masih segar di ingatkan pada Orde Baru, Pancasila mengalami masa yang sulit karena diperalat untuk tujuan pelestarian kekuasaan. Itu juga karena diperalat untuk tujuan pelestarian kekuasaan. Itu juga terjadi di masa reformasi yang sudah 13 tahun berjalan, dengan versi lain. Korupsi, ketidakadilan dan tidak kekerasab menjadi-jadi. Para elit lebih buas dan tamak.
Dalam keagamaan, kerukunan dan kedamaian bukan lagi jadi inti kehidupan bersama. Sementara dalam kebijakan ekonomi, yang menentukan adalah uang, bukan nasib rakyat. Etika politik yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila hqncur karena politik diidentikkan dengan uang. Uang menentukan segala. Uang mementukan berbagai kebijakan publik. Dengan kondisi seperti itu, lahirlah kebijakan pemerintah yang tidak banyak menyentuh kepentingan wong cilik, malah justru melindungi pemodal. Pemberantasan korupsi pun jadi terkendali karena korupsi terlanjur merasuki semua senri kehidupan bangsa.
Sebenarnya, sah saja uang jadi faktor yang harus dipertimbangkan. Namun tidaj bisa diterima kalau uang jadi segala-galanya. Itu akibat ketidaktaatan, dan penyelewengan terhadap nilai-nilai Pancasila. Itu dilakukan terutama oleh penyelenggara negara, tetapi masyarakat sendiri juga ikut andil. Ini terlihat dari merebaknya kasus kekerasan bernuansa agama (Kasus Cikeusik dan Temanggung), teror bom, dan tawuran di kalangan mahasiswa/pelajar. Ini bukti pendidikan karakter tidak jalan, atau kebijakan pendidikan yang tidak lagi menempatkan pendidikan karakter sebagai prioritas. Padahal itu amat penting bagi siswa.Â
Rumah Pancasila semakin gelap, semakin menjauh  mengakibatkan kita menderita krisis kebangsaan berkepanjangan. Di nana lagi kita bisa temukan kunci jawabanatas persoalan krisis kebangsaan itu? Haruskah kita mencarinya di luar rumah Pancasila?
Sekian,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H