Tangan yang memegang ponselku mulai gemetar. Suara Ayah di ujung telepon terdengar semakin jauh, seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi komunikasi kami. Namun satu kalimat itu jelas terdengar---"Pergi sekarang, atau mereka akan datang."
Aku berdiri di depan jendela kamar, mataku terpaku pada kegelapan malam di luar. Tidak ada suara, hanya angin yang berdesir lembut. Namun di dalam diriku, ada ketakutan yang mendera, seperti ribuan suara berbisik tanpa henti, mengingatkanku pada apa yang akan datang.
Mereka sudah dekat.
Keringat dingin mengalir di dahiku. Apa yang harus kulakukan? Jika aku pergi, ke mana harus lari? Siapa mereka? Mengapa aku harus memilih begitu mendesak? Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak bisa kulalui dengan mudah.
Di belakangku, pintu kamar tiba-tiba berdengung. Aku menoleh cepat, melihat bayangan gelap yang sudah mengisi sebagian ruangan. Para sosok itu sudah ada di sini---di dalam rumahku. Mereka bergerak tanpa suara, seperti bayangan yang berjalan di dalam gelap, tidak manusiawi. Wajah mereka tertutup masker putih dengan senyum lebar yang mengerikan.
Aku mundur, berusaha mencari jalan keluar, tapi kakiku terasa kaku. Mereka sudah datang.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka lebar, dan aku bisa melihat mereka semakin mendekat. Di antara mereka, aku mengenali satu sosok yang lebih tinggi, yang mengenakan jas hitam panjang. Dari gerak-geriknya, aku tahu dia bukan hanya pengikut---dia pemimpin mereka. Sosok itu mengangkat tangannya dengan anggun, lalu suaranya terdengar, tegas dan dalam.
"Alia," katanya, suaranya penuh kekuasaan, "kami sudah menunggumu."
Aku merasa seluruh tubuhku gemetar. Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan dariku? Aku ingin berlari, tetapi aku merasa terjebak, tak bisa bergerak.
Pemimpin itu melangkah lebih dekat, dan seketika itu juga, aku mendengar suara Ayah kembali di ponselku, nyaris berbisik. "Jangan biarkan mereka mengambilmu, Alia. Pilihanmu---hanya kamu yang bisa menentukan."