Mohon tunggu...
Ade Ratno
Ade Ratno Mohon Tunggu... Administrasi - Percaya bahwa kemajuan lebih penting daripada kesempurnaan. Selalu belajar, selalu berkembang. Mengubah tantangan menjadi peluang, satu langkah pada satu waktu

Kemandirian bukan berarti berjalan sendirian, tetapi kemampuan untuk menghadapai dunia dengan kekuatan dan keyakinan diri, meski tanpa bergantung pada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Di Balik Pintu Terkunci: (part 1)"Sebuah Panggilan Misterius"

1 Januari 2025   20:41 Diperbarui: 1 Januari 2025   20:41 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/users/elg21-3764790/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=4537430

Angin malam berdesir pelan, merayapi jalan-jalan sepi di sekitar rumahku. Di luar, hanya ada cahaya redup dari lampu jalan yang menyinari trotoar basah akibat hujan sore tadi. Namun, di dalam rumah, aku merasa ada yang tidak beres.

Telepon rumah yang biasanya jarang berdering, tiba-tiba berbunyi. Suara deringnya terdengar begitu keras, seakan memecah kesunyian malam. Aku menatap telepon itu sejenak, bingung. Hanya ada satu nomor yang muncul di layar: "Nomor Tidak ."

"Apa yang harus ku lakukan?" gumamku pelan, sambil ragu-ragu mengangkat gagang telepon.

Aku menarik napas dalam-dalam dan akhirnya mengangkatnya. "Halo?"

Sebagian besar orang pasti akan merasa cemas jika menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Apalagi di malam hari seperti ini. Namun, yang aku dengar justru suara yang sangat familiar, tapi terdengar begitu jauh.

"Alia... kamu harus segera pergi. Mereka sudah dekat."

Suara itu hanya berbisik, namun terdengar sangat jelas di telingaku. Aku merasa tubuhku merinding mendengarnya. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku langsung mengenali suara itu---suara Ayah.

"Ayah? Apa yang terjadi? Di mana Ayah?" tanyaku dengan gugup. Dadaku berdegup kencang, rasanya seperti ada sesuatu yang mengancam di luar sana.

Tapi suara di ujung telepon itu tetap saja terdengar cemas, bahkan lebih gelisah. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Alia. Kau harus segera pergi dari rumah ini. Jauhkan dirimu dari tempat ini. Mereka sudah tahu kamu di sini."

Aku merasa seluruh tubuhku beku mendengar kata-kata itu. "Siapa mereka, Ayah? Apa yang terjadi?" aku memaksa, tidak ingin membiarkan percakapan itu berhenti tanpa penjelasan.

Namun, suara itu tiba-tiba terputus, dan yang ada hanya suara kosong di seberang sana. Aku terdiam, menggenggam telepon dengan erat. Tak lama kemudian, suara dering itu mati, menggantikan segala kecemasan dalam hatiku dengan kebingungannya.

Aku meletakkan telepon dengan tangan gemetar. Apa maksud semua ini? Kenapa Ayah mengatakan itu? Dan siapa mereka yang dimaksudnya?

Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, aku mendengar suara keras dari arah luar. Sebuah ketukan di pintu---tiga ketukan yang sangat jelas dan teratur. Aku tercekat, tubuhku menegang. Pikiranku mulai kacau. Aku meraih gagang pintu dan berjalan pelan, mencoba mengintip melalui lubang kunci.

Apa yang kutemui hanya kegelapan di luar, tak ada siapa pun. Hanya hujan yang semakin deras. Namun, rasa takut itu tetap menggerayangi hatiku. Siapa yang datang? Kenapa ketukan itu terdengar begitu nyata, begitu mendalam, hingga membuatku merasa seolah-olah ada sesuatu yang besar sedang menunggu di luar sana?

Aku kembali ke ruang tamu, mencoba mengatur napas dan berpikir. Ini hanya imajinasiku, pikirku. Tapi kenapa telepon tadi begitu nyata? Kenapa suara Ayah seolah memanggilku untuk segera pergi?

Lalu, aku mendengar sesuatu yang lebih buruk---suara pintu depan yang terbuka pelan. Suara kayu yang bergesekan dengan lantai membuatku semakin takut. Aku menoleh ke arah pintu, dan dalam sekejap, mataku menangkap sesuatu di dalam kegelapan. Di depan pintu, ada bayangan gelap yang berdiri diam, tak bergerak.

Aku merasa tubuhku kaku, tak mampu bergerak. Siapa itu? Batinku berteriak. Dalam sekejap, bayangan itu melangkah maju. Aku ingin berteriak, tetapi suaraku seperti terkunci di tenggorokan.

Bayangan itu semakin mendekat. Aku mencoba mundur, namun kakinya terasa berat seperti terikat. Apa yang terjadi pada malam ini? Kenapa semuanya terasa begitu tidak nyata? Tapi aku tahu satu hal, bahwa malam ini, aku tidak sendirian.

---------------------------------

Lanjut ke part 2....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun