Seorang teman pada sebuah malam curhat kepada saya via bbm. Masalahnya, dia dicemooh karena “hanya” menjadi ibu rumah tangga. Tidak seperti perempuan itu, yang adalah wanita karier. Hmmm...bahasan lama yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Topik ini menggelitik saya sebagai seorang perempuan yang juga merasakan hidup sebagai perempuan pekerja selama lima tahun lebih. Menggelitik saya juga karena saya dibesarkan oleh ibu yang juga “hanya” memilih menjadi ibu rumah tangga. Membingungkan memang, ketika seorang perempuan yang sudah menikah harus memilih antara menjadi ibu yang bekerja atau menjadi ibu rumah tangga yang tidak bekerja.
Berbicara mengenai perempuan pekerja vs ibu rumah tangga, adalah hal menarik yang selalu ada sepanjang masa. Dilihat dari sisi manapun, selalu ada yang bisa dijadikan perdebatan yang seru. Seperti perdebatan antara teman saya dan perempuan yang mencemoohnya itu.
Sebagai perempuan pekerja, perempuan tersebut, kata teman saya, merasa bangga karena bisa mandiri. Tidak bergantung pada gaji suami. Mampu menghidupi dirinya sendiri, meskipun suaminya bekerja. Sehingga dia memandang sebelah mata pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja.
“Emang apa salahnya? Ini pilihanku untuk hidup sebagai ibu rumah tangga. Ngapain juga ngurusin hidupku? Toh perempuan, menurut agama dijelaskan, cukup sholat lima waktu, puasa ramadhan, patuh pada suami. Maka ia bisa masuk surga dari pintu surga manapun yang ia pilih.”
Betul sekali. Perempuan memang tidak diwajibkan bekerja. Kewajiban utamanya adalah mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi masa depan yang baik. Kewajiban mencari nafkah toh ada pada suami. Jadi apa ada yang salah kalau teman saya itu memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja?
Lalu apa ada yang salah ketika seorang perempuan memutuskan untuk berkarier, padahal dia sudah berumah tangga? Akan jadi apa rumah tangganya, anak-anaknya kalau kedua orang tuanya bekerja. Padahal suaminya mampu untuk menafkahinya. Lain soal kalau ternyata si suami tidak juga memperoleh pekerjaan. Lain soal kalau ia memang berniat membantu perekonomian keluarga. Seperti halnya yang banyak dilakukan buruh migran kita. Meninggalkan kampung, bahkan negara, demi mencari sesuap nasi di negeri orang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Atau tidak usah jauh-jauh cerita sampai ke negeri seberang. Di negara kita pun banyak sekali perempuan bekerja justru sebagai penopang utama perekonomian keluarga.
Bagi saya pribadi, selain untuk mendapatkan upah, karena sampai saat ini saya masih sendiri. Otomatis saya harus menghidupi diri saya sendiri agar tidak bergantung pada orang lain. Saya melihat pekerjaan sebagai sarana aktualisasi diri. Saya selalu memandang pekerjaan adalah tempat untuk mengembangkan potensi diri. Mengembangkan pergaulan dengan bertemu banyak orang dengan beragam karakter. Serta sarana untuk mempraktikkan ilmu dan pengalaman yang sudah saya peroleh sebelumnya. Tentu saja, semua itu tidak akan bisa kita rasakan kalau kita hanya menjadi ibu rumah tangga saja.
Sebetulnya saya juga tidak sepenuhnya tahu sih, tentang perasaan seorang ibu rumah tangga. Tapi dari kacamata saya melihat ibu saya. Seorang ibu, yang memilih tidak bekerja (saya sebut ibu yang tidak bekerja karena setiap ibu sejatinya adalah ibu di rumah tangganya masing-masing), adalah perempuan istimewa. Perempuan mulia yang mampu membuang semua egoismenya, ambisi pribadinya, cita-citanya demi membesarkan anak-anaknya. Perempuan mulia yang menceburkan diri, mengesampingkan dunianya, demi dunia anak-anak dan suaminya. Mengurus rumah juga bukan hal yang mudah. Kata seorang teman, seorang ibu bekerja yang lain, pekerjaan rumah tangga seolah tidak ada habisnya. Beda dengan bekerja di kantor yang terjadwal dari pagi-sore. Mulai bangun tidur, sampai mau tidur lagi. Semua harus diperhatikan, mulai hal remeh temeh yang menyangkut fisik, sampai psikologis anak-anak dan suaminya. Ibu rumah tangga, adalah koki sekaligus ahli gizi. Suster sekaligus dokter. Guru, tapi juga tukang cuci. Seorang bendahara dan menteri keuangan, kalau kata Mario Teguh. Seorang desainer interior sekaligus tukang sapu. Seorang psikolog yang selalu sabar menghadapi kenakalan anaknya. Seorang kekasih yang menentramkan bagi suami yang seharian lelah bekerja. Ibu rumah tangga adalah segalanya.
Bukan berarti saya meremehkan ibu yang juga perempuan pekerja. Mereka juga malaikat bagi anak-anaknya. Tapi kelebihan dari ibu yang tidak bekerja, ya itu tadi. Mereka rela membuang ambisinya demi anak-anaknya agar tidak kekurangan kasih sayang. Mereka rela dicemooh orang karena hanya mengandalkan gaji suami. Sementara kelebihan ibu bekerja, adalah kelebihan ibu rumah tangga, plus kelebihan perempuan pekerja yang sudah saya sebutkan tadi diatas.
Jadi apa kesimpulan yang dapat diambil? Apakah seorang ibu lebih baik bekerja atau tidak?
Semua kembali lagi ke pilihan, dan persoalan yang dijalani masing-masing pribadi. Tidak perlu merasa lebih karena bekerja atau tidak bekerja. Jangan membandingkan dirimu pada orang lain dengan memakai kacamatamu. Kalau kacamata kita minus dan orang lain silindris, lensanya juga beda kan?
note:
Tulisan ini dibuat untuk seluruh ibu, baik bekerja, maupun tidak, yang sedang dalam kegalauan untuk terus bekerja atau berhenti bekerja. Untuk perempuan Indonesia yang akan menjadi ibu, dan anak-anak dari seorang ibu agar mereka selalu menghargai ibunya.
Spesial untuk ibu saya, terima kasih Mama :-*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H