Syahdan Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al amin dipercaya oleh masyarakat Mekkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terkahir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya (baca: Sami Hamoud, Islamic Banking). Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya, kedua karena bentuk pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke khufah. Juga tercatat Abdullah bin zuabir yang tinggal di Mekkah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Mizab bin Zubair yang tinggal di Irak.
Jelaslah bahwa ada invidu-individu yang telah melakukan fungsi perbankan di jaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungis pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
Istilah bank memang tidak dikenal dalam khazanah keilmuan Islam. Yang dikenal adalah istilah jihbiz. Kata 'jihbiz' berasal dari bahasa persia yang berarti penagih pajak. Istilah jihbiz mulai dikenal dijaman Mu'awiyah, yang ketika itu fungsinya sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah.
Di jaman itu, jihbiz tidak saja melakukan penukaran uang dan jasa namun juga menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Bila di jaman Rasulullah SAW satu fungsi perbankan dilaksanakan oleh satu individu, maka dijaman Bani Abbasiyah ketiga fungsi utama perbankan dilakukan oleh satu individu jihbiz.
Perbankan Syariah di Indonesia
Penyusunan UU Perbankan Syariah pertama merupakan usulan dai Komisi XI DPR RI (hak inisiatif). Proses penyusunan sudah dimulai sejak: 1. Tahun 2002 yaitu BI melakukan kajian dan hasilnya berupa kajian akademis, 2. Tahun 2003 Naskah akademis disampaikan kepada DPR RI dan Pemerintah untuk dijadikan pertimbangan penyusunan RUU, 3. Penyusunan draft RUU oleh DPR RI dimulai sejak tahun 2005, 4. Pembahasan draft RUU oleh Pemerintah yang dalam hal ini dikomandani bersama oleh Depkeu, Depag dan Depkumham yang dimulai sejak Februari 2007 sampai dengan Juni 2008. Akhirnya tebentuklah UU N0 21 Tentang Perbankan Syariah.
Adapun asas yang dipegang teguh dalam perbankan syariah yaitu dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Pertama adalah Prinsip Syariah, antara lain kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, zalim.
Kedua adalah demokrasi ekonomi,. Yang menjadi maksud dalam asas ini adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan.
Ketiga adalah prinsip kehati-hatian. Landas pikir dari prinsip ini adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kembali pada tujuan dari perbankan syariah yaitu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan. Dalam rangka mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, Perbankan Syariah tetap berpegang pada prinsip syariah secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqamah). Perbankan Syariah, Kenapa tidak!.
Kenalilah Perbankan Syariah
Tentunya di dalam benak kita semua bertanya-tanya, apa yang membedakan Bank Syariah dan Bank Konvensional. Memang, sejauh ini efek dan perkembangan Bank Syariah di Indonesia di rasakan masih jauh panggang dari api.
Ada beberapa perbedaan pokok antara Bank Syariah (BS) dan Bank Konvensional (BK). Pertama adalah struktur organisasi: (BS) Dewan Pengurus Syariah / (BK) tidak ada. Kedua, Hubungan bank dan nasabah: (BS) kerjasama investasi, penjual dan pembeli, penyedia dan penerima / (BK) kreditor dan debitor, penyedia dan penerima jasa. Ketiga, sistem pendapatan: (BS) bagi hasi, marjin, fee / (BK) Bunga, fee. Keempat, penyaluran dana: (BS) investasi wajib halal dan maslahat / (BK) investasi tidak dibatasi halal atau haram. Jadi, kenalilah dirimu dan perbankan pilihanmu.
Inilah saatnya kita harus pandai memilah dan memilih. Banyak cerita yang nyata yang menjadi salam hangat bagi yang belum memiliki atau membuka rekening di Perbankan Syariah. Bahwa sistem bagi hasil itu benar adanya. Tidak hanya orang islam saja yang membuka rekening di Perbankan Syariah. Ada banyak non muslim tertarik dengan produk-produk yang ditawarkan oleh Perbankan Syariah. Jadi, untuk orang muslim kenapa tidak.
Apakah Bagi hasil itu? Bagaimana nasabah investor bisa memperoleh bagi hasil?. Dulu Muhammad al Amin bermitra dengan Siti Khadijah r.a. dalam suatu usaha perdagangan. Saat itu Siti Khadijah r.a. menyerahkan modal berupa barang dagangan kepada Muhammad al Amin bin Abdullah. Oleh Muhammad al Amin barang-barang tersebut diperjualbelikan di pasar. Keuntungan dari hasil usaha tersebut kemudian dibagi untuk Siti Khadijah r.a. dan Muhammad al Amin. Besarnya bagian masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. inilah yang disebut dengan bagi hasil. Cara kerja inilah yang diadopsi oleh Bank Syariah.
Panutan kita Nabi besar Muhammad SAW telah memberi contoh yang baik dalam proses perbankan yang baik. Kita sebagai umatnya tentulah mencontoh apa yang di ajarkannya (baca: Muhammad SAW). Mulailah dari sekarang, Syariah untuk kita semua. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H