Mohon tunggu...
Aden ReunidaZahbi
Aden ReunidaZahbi Mohon Tunggu... Lainnya - Mencintai sang pemilik cinta

لله تعالى

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Atas Nama Pendidikan, Kreativitas Hilang

18 Oktober 2020   08:58 Diperbarui: 18 Oktober 2020   09:09 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sudah tak asing lagi mendengar istilah "Setiap anak cerdas dengan caranya masing-masing", namun sudahkah kita orang dewasa menyuburkan benih kecerdasan mereka dengan optimal? 

Tanpa kita sadari bahwa potensi dasar anak sudah tampak pada kecenderungan yang dimilikiseperti rasa ingin tahu, imajinasi anak, serta kreativitas anak. 

Secara alamiah anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap apapun yang terjadi disekitar mereka daan hampir dari setip mereka memiliki imajinasi yang kuat. 

Sementara potensi kreativitas anak sebenarnya juga sudah tampak pada anak ketika anak melakukan sesuatu hal yang baru sesuai daya imajinasinya. Sayangnya seringkali orang dewasa campur tangan dengan alasan pendidikan yang menyebabkan potensi anak layu dan pudar sebelum potensinya berkembang. 

Beberapa teori menyebutkan bahwa kreativitas anak paling menonjol dipengaruhi oleh lingkungan keluarga bukan lingkungan sekolah, maka dari itu jika orang tuanya tidak memupuk dan menyuburkan potensi anak di lingkngan sekolah yang bagus pun potensi itu tidak akan berkembang karena sudah pudar duluan di lingkungan keluarganya.

Abraham Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia yang tertinggi adalah aktualisasi diri dan estetika dimana manusia akan menemukan makna terdalam dalam hidupnya. 

Kreativitas merupakan potensi pelontar seseorang dalam menggapai kebutuhan tertinggi tersebut. Kreativitas pada manusia pun sebenarnya sudah terlihat sejak dini namun sayang seringkali orang dewasa tidak menyadari potensi tersebut sehingga tidak diasah dan diabaikan bahkan dibiarkan tenggelam hingga berkarat. 

Ibaratnya seekor anak elang yang diasuh oleh induk bebek, anak elang yang dari lahir sudah memiliki potensi terbang tetapi tidak diasah malah setiap harinya dipaksa berenang hasilnya anak elang tersebut terbang tidak sanggup berenang pun juga tak mampu. 

Dari contoh anak elang tersebut orang tua harus berani menghentikan segala bentuk pemangkalan, pemudaran, dan pemandulan pada potensi anak yang mengatasnamakan pendidikan atau apapun itu agar anak menjadi individu yang mampu memberi makna terhadap hidupnya dengan penuh tanggung jawab. 

Pendidikan yang dilakukan dalam bentuk formal maupun non formal selalu bernuansa liberation bukan domestication yang artinya dalam praktik pendidika yang ditujukan pada anak benar-benar mampu membebaskan mereka dari segala keterbatasan yang ditimbulkan oleh faktor internal yang merupakan faktor bawaan diri sendiri maupun eksternal yang merupakan faktor yang berasal dari kondisi sosio-kultural lingkungannya. 

Penting untuk kita ingat bahwa setiap anak merupakan seniman dan setiap anak merupakan ilmuwan, mari simak uraian berikut..

Setiap Anak Seniman

Sering kita jumpai seorang seniman dengan kesan dan ciri khasnya masing-masing, kesan dan ciri khasnya tersebut merupakan bentuk dari kualitas kreativitasnya. 

Seorang seniman tidak lahir begitu saja, ia lahir dengan proses yang panjang. Daya ciptanya pun melalui proses pencarian jati diri hingga akhirnya dapat menemukan orisinilitas karyanya sendiri. 

Proses awal kreatif yang dilakukan oleh seniman adalah imitasi, sebagai contoh seorang pelukis besar pasti memiliki patron sebagai acuan untuk diikuti hingga akhirnya menemukan gayanya sendiri. 

Begitu pula dengan anak, anak merupakan peniru yang sangat baik. Anak suka melakukan sesuatu berdasarkan hal yang dilihat disekitarnya. Contoh ketika anak melihat serial drama di TV, anak pun akan meniru pemeran yang ada di serial drama tersebut. 

Ketika anak melihat sebuah gril band ataupun boy band anak pun meniru, sama halnya ketika bundanya menggunakan lipstick diam-diam anak sudah belepotan dengan lipstick. 

Terdapat pertentangan mengenai kegiatan meniru anak dengan kreativitas, sehingga menimbulkan larangan dan meremehkan anak ketika ia meniru. Padahal dari contoh diatas meniru merupakan langkah awal untuk menemukan daya ciptanya sendiri. 

Ketika anak tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menggemari dan menghargi musik makan akan melahirkan anak yang menyukai music pula bahkan menjadi seorang musikus, hal ini terjadi karena nuansa lingkungan keluarga anak kental dengan musik. 

Tetapi perlu diingat bahwa menirunya anak tidak harus berupa tindakan konkret, secara mental anak merekam gejala yang ada di sekitarnya dalam alam bawah sadarnya, setelah masa inkubasi , suatu saat potensi anak akan mekar dengan sendirinya pada waktu yang tepat. 

Maka dari itu sesungguhnya setiap anak lahir sebagai seorang seniman, dimana untuk mencapai titik tertinggi diperlukan proses panjang dan bantuan dari lingkungannya. 

Orang dewasa harus menciptakan suasana sekolah dan lingkungan dengan nuansa seni tujuannya agar anak dapat menghaluskan rasa estetikanya yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku anak.

Setiap Anak Ilmuwan

Ada perbedaan mencolok ketika seorang dosen mengajar mahasiswa dengan seorang guru yang mengajar anak TK. Ketika dosen mengajukan sebuah pertanyaan pada mahasiwa "Ada pertanyaan" hampir seluruh mahasiswa tidak bersambut, sementara ketika seorang guru mengajar anak TK akan terjadi hal sebaliknya, guru tidak akan sempat bertanya hal seperti itu karena anak akan bersahutan ditengah pelajaran untuk menanyakan berbagai hal. 

Maka dari itu banyak tokoh mengungkapkan bahwa anak selalu memiliki rasa ingin tahu dan bertanya merupkan ekspresi yang ditunjukkan anak ketika ingin mengetahui sesuatu. 

Namun mengapa saat dewasa atau saat jenjang pendidikan anak semakin tinggi malah semakin berkurang rasa ingin bertanya padahal semakin dewasa sesorang makan semakin banyak pula yang dipelajari dan harusnya semakin banyak pula bahan untuk ditanyakan. Hal ini masih menjadi tanda tanya apakah sikap kritis anak saat remaja sama seperti kreativitas yang terpangkas atas nama pendidikan.

Kenyataannya anak TK pembelajarannya bermain dan belum sepenuhnya tersentuh pendidikan tetapi rasa ingin tahu anak menyebabkan anak bertanya, eksplorasi, dan konkulsi membuktikan bahwa pada dasarnya anak berpikir seperti ilmuwan. 

Oleh karena itu, agar potensi keilmuwan anak dapat tumbuh subur maka diperlukan adanya koreksi terhadap pola asuh serta pola didik terhadap anak dalam memberikan informasi, nasihat, dan aturan dengan kebebasan bertanya serta membimbing anak untuk menemukan jawabannya sendiri. 

Perlu diingat pula bahwa bertanya merupakan langkah awal menuju proses ilmiah yang akan mengantarkan anak pada penemuan baru. Seorang ilmuwan seringkali bertanya hal lumrah yang terjadi di sekitarnya hingga akhirnya menemukan kebenaran yang bisa dibuktikan secara ilmiah. 

Begitupun dengan anak yang seringkali merepotkan dan menjengkelkan orang dewasa dengan menanyakan hal sepele. Jika anak melakukan hal seperti itu jangan bersikap acuh, merendahkan, dan marah hingga menuduhnya bodoh, cerewet, dll. 

Sikap orang dewasa yang seperti itu akan menghalangi lahirnya Einsten dan Edison baru kemudian mendorong lahirnya beo-beo penghafal atau robot yang menunggu untuk di program. 

Sikap anak yang berani bertanya maupun mengungkapkan pendapat dapat memupuk potensi keilmuwan dan membangun rasa percaya diri. Hal ini harus didukung oleh orang dewasa untuk menstimulus serta mengajarkan kemampuan bertanya dengan cara mengajukan pertanyaan pada anak. 

Ketika menghadapi sebuah persolan/pertanyaan ajarkan anak untuk menghindari kata "Tidak mau, Tidak bisa, Tidak tahu" karena seorang ilmuwan berwatak gigih dan tekun untuk menemukan jawabannya, berbeda dengan budaya instan akibat pola hidup konsumtif dan hedonis yang setiap detiknya ditawarkan pola hidup modern. 

Lumpuhnya budaya juang anak justru disebabkan karena orang tua yang memanjakan anaknya. Orang tua sibuk dengan dorongan agar anaknya dapat hidup dalam kecukupan sehingga melimpahkan bantuan total bukan dengan materi, hal ini menyebabkan rasa juang dan gigih anak mati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun