Malam itu di sebuah Café kecil di Bogor. Mata sahabat saya berkaca-kaca. Sorot Matanya menyiratkan luka dan kesedihan mendalam. Wajahnya lesu. Tatapannya menerawang. Sesekali ia menarik nafas dalam. Menghembuskannya dengan kencang. Dadanya naik turun. Sebuah gejolak besar dan hebat sedang berkecamuk di tubuhnya. Bahunya membungkuk. Sebuah masalah besar sedang ia hadapi. Cobaan yang harus ia lewati. Suaminya selingkuh.
Ia memilih untuk bertahan. Bertahan dengan sisa kekuatan yang ia miliki. Seperti seorang tentara perang yang tetap mempertahankan wilayahnya walaupun tubuhnya sudah compang-camping karena tembakan. Atau, seperti seorang nelayan yang bersikeras mencari ikan di tengah ombak lautan yang menggunung. Ia bertahan. Memegang pada satu-satunya hal yang harus dijaga, dua anaknya yang masih kecil.
Jika tubuhnya adalah kapal yang bocor, maka ia berusaha keras menambal satu lubang di kapal. Sayangnya, saat ia fokus menutup satu lubang, orang-orang yang dicintai dan dihormati, malah membuat lubang baru. Satu lubang baru. Dua lubang baru. Terus saja hingga ’kapalnya’ berlubang di sana-sini. Ia pun hampir ’karam’. Dengan sekuat tenaga yang dimiliki, ia tutup semua lubang-lubang. Ia pun kelelahan. Ia ingin menyerah. Ia menangis.
Saya mendengar semua kata yang meluncur dari mulutnya. Masih ada sisa ketegaran dibalik ceritanya. Karena, sahabat yang saya kenal ini adalah perempuan tegar dan kuat. Ia adalah batu karang. Tapi bukankah sebuah batu karang sekalipun semakin lama semakin terkikis oleh deburan ombak?
”Ini terlalu berat,” desisnya. Saya meremas tangannya pelan.”Tapi saya masih cinta, saya tidak mau cerai!” Ia pun menangis lagi.
Saya tidak bisa berkata apa-apa selain memeluknya. Memberi semangat tambahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H