Mohon tunggu...
sofi adenina
sofi adenina Mohon Tunggu... -

Being human being

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Your Identity is your most valuable asset, guard it with your life"

24 Januari 2014   09:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:31 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda bisa menjadi siapa saja, dimana saja, kapan pun, tanpa harus perduli jarak dan waktu. Menggiurkan dan terdengar sangat menyenangkan. Pernah buat akun bohongan? Saya pernah, apa salah? No, kita tidak akan bicara mengenai cyber etik dsini. Buat apa akun bohongan? Namanya gak asli gitu? Identitasnya palsu? Yes, fake one. But I have my own reason for what I did. Sama seperti kutipan diatas, bentuk dari ketidak percayaan kita kepada orang lain dan kepada teknologi.

Twitter. Topic paling hangat untuk dibicarakan saat ini dan seperti tulisan saya sebelumnya bahwa ada jutaan lebih orang Indonesia menggunakan media cyber ini, dengan tujuan nya masing-masing. Sex yang dijembatani oleh Twitter pun bukan hal yang aneh lagi, penggunanya anak-anak remaja berpendidikan tinggi, orang-orang dengan karir yang sukses, ataupun orang-orang yang memiliki intelektulitas bagus dan sebagainya, dengan atau tanpa identitas asli mereka yang kambali saya tekankan bahwa tidak ada benar salah disini Karena itulah cyberworld.

Ketika kita masuk kedunia virtual tersebut maka semua menjadi mungkin semua kebutuhan yang tidak bisa kita dapatkan di dunia asli kita bisa kita dapatkan di cyberworld tentunya berdasarkan khayalan dan keinginan kita.

Its not about human anymore, its posthumanisme,bukan kita sebagai real human lagi tetapi avatar, ide ,dan gambar didalam cyber space yang bicara. Teorinyapun menyatakan bahwa apapun yang connect dengan internet menjadi sesuatu yang life on screen dan jaringan dalam internet theory dimana kita sebut ini sebagai virtual, jangan lagi kita sebut ini dunia maya karna kita tidak membicarakan dunia” setan”, virtual adalah jaringan didalam jaringan dan terus berkalitan. Castell menjelaskan bahwa dalam network society ada space of flow dimana kita memiliki ruang untuk berlalu lintas untuk kita lakukan setiap saat, menjelaskan bahwa ini adalah real virtuality, yang artinya nyata tetapi virtual. Kenyataan bahwa dunia ini adalah dunia mesin dan bot memang sudah jelas ditambah dengan penguatan penjelasan dari Donna Harraway mengenai Cyborg,Cyborg innovation, dan Cyborg method, dimana kita real human yan pada akhirnya mengikuti program dan culture mesin yang kita gunakan tersebut, it’s a program, dan kita memasukinya sebagai user.

Para pengguna Twitter tersebut sah-sah saja menjadi siapapun yang mereka mau, mengemukakan semua ide-ide mereka dalam bentuk twit apapun itu, dan apa tujuan penggunaan mereka, karena ide adalah sebuah hal yang subtansial dalam dunia cyber dan cyberspace adalah a concensual hallucination, its beyond human. Menurut saya dibalik apapun yang mereka kemukakan adalah bentuk perwujud-an dari khayalan, harapan, keinginan, dan bentuk lain mereka untuk meng-ekspresikan diri mereka yang mungkin mereka tidak bisa dapatkan ketika mereka ada di dunia yang sebenarnya, itulah mengapa ketika kita berada di dunia virtual kita bisa menyebutnya sebagai second life. Bagaimana dengan follower yang banyak? Nyatanya followers banyak adalah sebuah tolak ukur dari “pride”  Dengan kita menjadi famous dan memiliki karakteristik yang tidak sama seperti orang lain maka kita bisa mempengaruhi orang lain, daya tarik ini yang digunakan untuk bisa terus eksis dalam dunia virtual tersebut.

Im still digging more and more about cyberculture.

Cyberculture secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai budaya cyber. Dengan kata lain cyberculture adalah segala budaya yang telah atau sedang muncul dari penggunaan jaringan komputer untuk komunikasi, hiburan, dan bisnis. Cyberculture juga mencakup tentang studi berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan bentuk-bentuk baru komunikasi jaringan lainnya seperti komunitas online, game multiplayer online, jejaring sosial, texting, dan segala hal yang berkaitan dengan identitas, privasi, dan pembetukan jaringan.


Beberapa faktor yang ada pada cyberculture adalah:

-Anonymous atau Dikenal

-Identitas fisik/asli atau identitas cyber

-Komentar dengan atau tanpa rating

-Feedback positif atau feedback campuran (positif dan negatif)

Menurut Kendall 2007 dalam Pramod  Cyberculture : “Culture formed in or associated with on line social space”. Budaya dunia maya (cyberculture) terbentuk dalam hubungan dengan ruang social secara on line.  Demikianlah definisi ini disampaikan oleh Pramod: “culture is the electronic environment where various technologies and media forms converge and cross over  : Video game, the internet and email, personal homepage, on line chat, personal communication technologies (PCTs, such as cell phone),mobile entertainment and information technologies, bio farmatics, and biomedical technologies.

Ruang lingkup cyber adalah lingkungan elektronik dimana variasi teknologi dan media menyatu dan terjadi saling mempengaruhi (cross over) satu sama lain. Video game berkembang cepat setelah bisa dijalankan melalui internet, begitu pula electronic mail (email).

Selain infrastruktur yang menjadi bagian dari cyberculture adalah unsure konten yang berasal dari pemikiran manusia itu sendiri. Semua isi konten adalah hasil karya manusia. Kehadiran internet mampu membentuk sebuah dunia; dunia siber. Dunia siber bukan hanya komputer, jaringan dan pemograman. Tetapi, dunia siber merupakan ruang imajinasi antara komputer dan manusia membangun imaji dirinya yang baru dan dunianya yang baru (Bell, 2001, p. 7).

Menurut Henry Jenkins (2006) dalam Pramod : “cyber culture is convergence culture, where the Personal Computer, the telephone, the internet, and multimedia provide an integrated form of communication. Convergence is not just about platform for the merger of device, but also the very function where entertainment and information become “infotainment” on education and entertainment become “edutainment”. Maksudnya bahwa cyberculture adalah penyatuan kultur dimana Personal Computer, telepon, internet, dan multimedia menyediakan integrasi komunikasi. Penyatuan tidak sebatas penyatuan platform (desain dasar) perangkat teknologi, namun juga variasi fungsi dimana hiburan dan informasi menyatu menjadi “infotainment” dan hiburan serta pendidikan menyatu menjadi “edutainment”.

Ketika para pengguna Twitter itu log-in dan memasuki second life mereka maka menjadi sah untuk mereka melakukan apapun, dan apapun yang terjadi didalamnya adalah pilihan dari masing masing mengguna, namun ketika mereka membawa hal-hal dari jaringan tersebut kedunia nyata, maka kita sudah berada di ranah yang berbeda, cyberspace bertentangan dengan meatspace, jadi ketika mereka sudah melibatkan kontak fisik, entah sex,pacaran, atau hanya sekedar ngopi-ngopi saja, apapun yang mereka lakukan itu sudah bukan menjadi bagian dari cyberculture walaupun mereka bertemu, dan saling kenal dari cyberspace. Apapun yang aktifitas yang terjadi di cyberspace adalah bagian dari cyberculture, dan tidak ada regulasi untuk hal tersebut, sema diselesaikan didepan layar.

Sudah sangat jelas sekali hal-hal yang terjadi didalam dunia virtual selalu menangkut, play with gender, dan second life. Kembali pada paragraph pertama setelah menjelaskan penjelasan saya mengenai cyberculture, kemudahan untuk menjadi siapa saja, dimana saja, dan untuk apa saja memang menjadi hak masing-masing dari anda, tapi jangan pernah lupa di dalam komunitas siber anda bisa saja menjadi korban dari kemudahan tersebut.

1.      Bell, David, Manuel Castells and Donna haraway, 2007,Cyberculture Theorist, London-New York:  Routledge.

2.      Hayles, N. Katherine, 1996,How We Become Posthuman: Virtual Bodies in Cyberneticts, Literature, and Informatics, Chicago: The University of Chicago Press.

3.      Levy, Pierre, 2001,Cyberculture, Electronik Mediations, V. 4, Minneapolis, Minn: London university of Minnesota Press.

4.      Nayar K Pramod, 2010,The New Media and Cybercultures Anthology, London, John Wiley and Sons, Incorporated.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun