Mohon tunggu...
adenendang
adenendang Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Orang Kecil

4 Juli 2011   11:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kantor masih sepi waktu aku memasukkan sepeda ke tempat parkir di basement. Waktu melihat jam tangan, jarumnyamenunjukkan pukul 7.30. Berarti masih ada waktu setengah jam lagi. Pantas saja para karyawan banyak yang belum datang.

Aku melangkah menaiki tangga satu-satu. Sengaja tidak naik lif. Meski yang dituju lantai 6, rasanya kaki tidak menunjukkan kepenatan. Malahan yang terjadi justru kesegaran. Ya, udara pagi memang menyegarkan.

Di lantai 6, langsung aku menuju ruangan kantorku. Pintu dan jendela ruanganku sudah terbuka sehingga udara pagi ikut menyegarkan ruangan dari kepengapan. Di sebelah jendela aku melihat cleaning sevice sedang membersihkan jendela; padahal jendela masih bersih karena kemarin pagi pun dibersihkannya.

“Wah, hebat Mas Mono sudah beres-beres sepagi ini,” aku basa-basi menyapa Mas Mono, cleaning service itu.

“Ini sudah siang, Pak. Saya datang ke kantortadi jam 5.30, karena sebelum jam 8 sudah harus bersih semua, supaya bapak-bapak bekerja dengan nyaman,” jawab Mas Mono sambil terus bekerja.

“Tapi Mas Mono kelihatan kurang ceria seperti biasanya?” Aku menimpali sambil bertanya sekenanya.

“Ah, biasa saja kok, memang wajah saya seperti begini.” Jawabnya.

“Tapi istri dan anak-anak sehat-sehat saja kan?” Kembali aku memperpanjang obrolan dengannya.

“Alhamdulillah, Pak. Yang kurang sehat mah kantong.” Jawabnya sambil tertawa.

“Itu mah penyakit bersama, Mas.”

“Ya jelas beda, Pak. Pendapatan kita kan berbeda. Kantong kosong versi saya pasti berbeda dengan versi Bapak. Kalau saya, kosong itu betul-betul kosong. Kalau Bapak, yang dimaksud kosong itu barangkali seratus dua ratus sih masih ada di loket,” Jawabnya sambil tersenyum kecut.

“Lalu, kalau Mas Mono sama sekali tidak beruang, naik apa ke sini?” Aku kembali bertanya.

“Ya naik sepeda,Pak.”

“Kalau naik sepeda, kita sama dong.”

“Ya, naik sepeda Bapak dengan naik sepeda saya alasannya pasti berbeda. Saya naik sepeda karena tidak punya uang untuk ongkos angkot; sedangkan Bapak naik sepeda karena olah raga. Makanya perlengkapan sepedanya juga berbeda. Bapak naik sepeda yang mahal harganya dan memakai helm yang juga harganya mahal; sedangkan saya naik sepeda butut tanpa helm.” Jawabnya panjang lebar.

“Ngomong-ngomong, memangnya Mas Mono di mana rumahnya?”

“Saya ngontrak di Jalan Cilecek.” Jawabnya sambil terus mengosok-gosok kaca jendela.

“Wah,kalau begitu kita satu arah, dong,” kataku

.

“Memang Bapak di mana?” Tanyanya.

“Di komplek Panasbaran, Jalan Adigung.”

“Oh, kalau begitu satu komplek dengan Pak Ahlun Nar?”

“Iya, hanya beda jalan. Dia rumahnya di Jalan Gede Hulu.”

“Enak, ya Pak. Komplek Panasbaran itu kan komplek elite. Jalannya juga gede-gede. Pasti rezekinya juga gede-gede.” Katanya seperti yang sedang mengeluhkan nasibnya yang berbeda.

“Ya, yang gede….gede, yang kecil…kecil. Kalau kebetulan kerjanya di tempat basah, pasti gede duitnya…”

“Iya ya Pak, tempat “basah” bapak-bapak sangat berbeda dengan tempat basah saya. Setiap hari saya kerja basah-basahan, tapi duitnya kecil…” Dia bicara seakan-akan menyesali diri. “Eh, Bapak mau minum apa?” Dia mengalihkan pembicaraan dengan dengan menawarkan minum. Memang tugas Mas Mono itu komplit, mulai dari bersih-bersih, menyediakan minuman bagi seluruh karyawan, tukang disuruh membeli sesuatu dari kantin, sampai tukang disuruh mencuci mobil karyawan yang kebetulan dibawa ke kantor dalam keadaankotor.

“Biasa Mas, kopi pait tanpa gula.” Saya biasa minum kopi tanpa gula. Kopinya harus banyak supaya terasa paitnya. Minum kopi pait yang panas membuat badan terasa segar. Pepatah Arab mengatakan, kopi yang diseduh itu harus pait bagaikan maut, harus panas bagaikan cinta.

“Aneh Bapak ini. Satu-satunya orang yang tidak menghabiskan gula di kantor ini hanya Bapak. Padahal apa enaknya kopi tanpa gula?” Dia bicara sambil menyimpan minuman itu di atas mejaku.

“Ya, Mas, terkadang orang tidak memahami orang lain karena ukurannya dirinya sendiri. Karena Mas Mono biasa ngopi pakai gula, maka Mas Mono tidak memahami orang yang ngopi tidak manis alias pahit.”

“Benar Pak…” Jawabnya sambil mengelap meja-meja yang sudah bersih karena sudah dibersihkan sejak tadi. “Di kampung saya pun orang sering tidak memahami pekerjaan saya. Katanya, pergi kerja sebelum matahari terbit, kembali ke rumah matahari sudah terbenam, tapi keadaan masih melarat, sama dengan mereka yang nganggur. Mending nganggur, kata mereka.”

“Mas Mono suka menjawabnya?” Tanya saya.

“Ya enggak lah. Orang gila kok digubris. Bagi saya, sehina-hinanya orang bekerja, masih lebih hina orang yang menganggur karena kemalasannya.”

“Benar Mas, saya setuju. Karena bekerja itu adalah kewajiban kita sebagai kepala rumah tangga.”

“Iya, istri saya pun selalu bilang, tugas kita hanya berusaha mencari rezeki melalui pekerjaan kita, adapun yang menentukan rezekinya sendiri adalah Tuhan.”

Obrolan dengan Mas Mono pagi ini terhenti karena para karyawan berdatangan dan Mas Mono pun mempersiapkan minuman mereka.

Bandung, 4 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun