Mohon tunggu...
adenendang
adenendang Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pulang

6 Juli 2011   02:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Memang aku ini gila. Minimal kata temanku. Gila karena aku ingin pulang. Ya, pulang ke tanah airku, tempat ibuku melahirkanku. Tempat aku dulu menyusu ke tetek ibuku. Tempat dulu waktu kecil aku bertengkar dengan saudara-saudaraku. Tempat dulu aku bermanja-manja dengan nenek dan kakekku. Tempat dulu waktu aku dipalak preman saat pulang sekolah di SMP. Tempat dulu aku jatuh dari pohon melinjo saat memetik tangkil. Pokoknya, tempatku dulu yang penuh kenangan manis dan pahit!

Ya, memang aku gila. Minimal kata temanku.

Di sini, di kota yang penuh dengan gelimang harta serta ditemani istri yang jelita, justru aku ingin pulang. Padahal kata “pulang” itu harus dipertanyakan. Bukankah aku di tanah air sudahtidak punya siapa-siapa? Seluruh keluargaku telah berpulang, direnggut Sunami! Bahkan pondasi rumahnya pun sudah tidak dapat diketemukan lagi. Jadi, aku pulang ke mana? Kepada siapa? Makanya aku dikatakan gila, minimal oleh teman-temanku.

Setamat SMA takdirku dijalani di negara kapitalis ini. Negara yang riuh rendah dengan kejar-kejaran ambisi dan keserakahan. Dan aku berlayar dalam lautan kapitalisasi, yang di dalamnya banyak sekali binatang-binatang yang siap mencabik dan menelan kalau aku keliru mengemudi perahu dan terbalik. Ternyata keberuntungan selalu menyertaiku, sehingga aku menjadi salah seorang pendatang yang sukses. Setiap langkahku berarti dolar, dan setiap lirikanku adalah keuntungan. Sekelilingku penuh dengan orang yang siap melayani. Tentu saja setiap orang yang bertemu denganku tidak ada yang berani bertabrakan pandangan dengan mataku.

Tapi, meskipun aku diprotes istriku, aku tetap ingin pulang.

“Siapa yang akan kautemui di sana?”

“Suasana.” Jawabku.

“Ok, kalau hanya ingin suasana, kita pergi ke sana, tapi sebagai turis.” Istriku memberikan jalan.

“Tidak. Aku ingin menetap di sana. Urusan ada atau tidak ada famili, toh seluruh orang di sana masih familiku.” Jawabku tegas.

Bukankah jawaban kepada istriku itu benar? Meski aku telah puluhan tahun tinggal di negara ini, tidak mengubah warna kulitku. Kulitku tetap sawo matang, meskipun setiap saat aku bergaul dengan penduduk setempat yang bule. Lidahku masih lancar berbahasa Indonesia, meskipun sehari-hari makananku a la Barat. Mimpiku masih menggunakan bahasa daerah, meskipun aku tidur dengan istriku yang berbahasa Inggris.

“Tapi di sana kita akan kesulitan.” Istriku berkilah.

“Pada setiap permulaan langkah pasti dimulai dengan awal yang lambat; dan pada setiap kesulitan yang ditemui bukan berarti tidak bisa diselesaikan.” Jawabku yakin.

“Apa kau masih belum sadar bahwa negaramu itu sedang kacau?” Istriku mencoba memberikan wawasan.

“Kacau dan damaiitu relatif, bergantung kepada sudut pandang kita. Toh kebahagiaan kita juga bagi orang lain mungkin kelihatannya sebagai penderitaan.” Jawabku serius.

“Maksudnya kita tidak bahagia?”

“Bukan begitu maksudnya. Kita ini jelas bahagia; karena bagiku kebahagian itu apabila engkau menikmati hidup ini dengan keceriaan, lalu dengan keceriaan itu kau curahkan seluruh enerjinya ke dalam lautan cinta. Selanjutnya, kau bikinkan perahu khusus untukku agar kubisa berlayar dalam ombak cintamu. Dan akupun bisa berenang dan menyelam (kalau perlu sambil minum)dalam lautan cintamu itu.” Jawabku puitis.

Aku sadar bahwa meskipun aku menerangkan dengan berbagai alasan serta dibumbui dengan rayuan pulau kelapa sekalipun, istriku akan menganggap bahwa keinginanku untuk pulang adalah suatu langkah yang keliru. Langkah yang gila! Makanya, pasti dia mengadakan “perlawanan”, karena baginya hidup di negeri yang penuh kenangan bagiku, tetap sesuatu yang gelap.

“Saya dengar di negerimu itu para istrinya mudah diperdaya, dan atas nama agama atau adat mereka disakiti oleh para suaminya. Apakah engkaupun ingin pindah ke sana agar bisa memperlakukanku demikian?” Istriku mencoba “menyerang” keinginanku dari sisi yang sangat sensitif.

“Well. Ternyata pengetahuanmu tentang negeriku semakin banyak. Memang banyak orang yang berkelakuan demikian. Tapi bukan monopoli di sana. Bukankah di sinipun banyak juga yang begitu?” Jawabku membela.

“Saya terpaksa harus membaca tentang negerimu. Ternyata di negerimu memang perlakuan laki-laki terhadap wanitaitu telah berjalan sepanjang sejarah negeri itu. Coba saja kita mundur ke awal abad ke-20. Bahkan seorang yang dijadikan sebagai pahlawan emansipasi saja ternyata seorang yang kalah. Bukan kalah dalam tanda kutip, ini benar-benar kalah! Hanya karena dia sering surat-menyurat dengan orang Belanda dan surat-suratnyaditerbitkan oleh si Belanda itu dengan judul Indonesianya Habis Gelap Terbitlah Terang maka jadilah diasebagai pahlawan. Padahal dia adalah orang yang kalah akan kehendak seorang pria yang mengatasnamakan adat istiadat!Dia harus tunduk untuk dijadikan sebagai istri kedua; dan dia tunduk, tidak melawan; apalagi mengubah adat istiadat yang membelenggu itu! Lalu, emansipasinya dari segi apa? Dia telah berbuat apa untuk bangsa ini kecuali surat-menyurat? Bukankah banyak perempuan di negerimu ini yang sangat hebat, baik sebelum maupun sesudah atau bahkan sezaman dengan Kartini, dari pemikiran maupun tindakannya? Tapi bahkan mereka tidak ditonjolkan ke permukaan sejarah? Atau dengan ditonjolkannya Kartini sebagai pahlawan adalah politik kaum laki-laki Indonesia agar para perempuannya meniru kepatuhan Kartini? Kepatuhan seorang yang memiliki pemikiran yang cemerlang tetapi kalah di lapangan? Mungkin ini juga bisa, karena presiden pertamamu saja istrinya banyak.....” Istriku seperti jaksa yangsedang menuntut pesakitan.

Ketidaksetujuan untuk pindah ini istriku menyerangku melalui kisah Kartini.Memang pernyataan istriku ini logis semua. Padahal dalam sejarah ini hanya satu pejuang perempuan yang gagal, yang mati bukan dalam kancah perjuangannya. Tetapi mati setelah menyerah dan kembali terjajah adat kolot!Tetapi justru yang kalah inilah yang dijadikan sebagai ikon pahlawan wanita. Mungkin juga ini jawaban mengapa wanita Indonesia sekarang masih memperjuangkan masalah gender; karena mereka salah menetapkan pahlawannya!

Saya jadi teringat kepada dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia.Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh danSiti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentunya Kartini masuk di dalamnya.Padahal, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa.

Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik pria maupun wanita. Tokoh wanita keduaadalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Jadi, bila dibandingkan dengan kedua wanita hebat itu, sebetulnya Kartini tidak ada apa-apanya. Barangkali benar kata istriku.

Tapi meskipun ditentang bukan hanya oleh belahan jiwaku, yaitu si jelita yang bermata cemerlang bagai bintang kejora, namun aku tetap berniat untuk pindah ke negeriku yang kata orang penuh dengan carut-marut. Bukan sebagai turis. Istriku tentu saja harus ikut, karena tidak mungkin aku berangkat tanpa dia.

”Darling, jangan engkau berpikir bahwa aku akan memperlakukanmu seperti suami Kartini memperlakukan istri-istrinya. Ingat, aku bukan bangsawan Jawa pada zaman penjajahan. Aku adalah laki-laki negeriku yang lahir setelah revolusi fisik dan berpendidikan modern. Dan yang lebih penting lagi, aku adalah laki-laki yang selalu setia kepada keluarganya; yang selalu mencurahkan cintanya seratus persen tanpa potongan harga...” Aku mencoba menerangkanengan sepenuh hati.

”Tapi kau akan meninggalkan pekerjaannmu di sini, padahal itu adalah hasil perjuanganmu membanting tulang. Berarti kaupun akan meninggalkan teman-temanmu yang telah menggantungkan hidupnya pada usahamu itu; apa kau tega?” Istriku bersitegang.

Duh, benar-benar istriku itu gambaran seorang perempuan yang selalu merisaukan masa depan, baik untuk dirinya, keluarganya, maupun orang lain.

Bandung, 6 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun