sebelum memahami fatsoen politika sebaiknya kita melihat dulu apa yg disebut Rotasi Demokrasi gambar 1. skema rotasi demokrasi intinya untuk bisa berkuasa harus mendapatkan amanah rakyat, yang dapat dilihat dari Kontrak Sosial, sebagai pola dari legitimasi sebuah pemerintahan berkuasa. Kontrak Sosial terbagi dua, KOntrak Sosial Presidensial dan Kontrak Sosial Parlementer. 1. Kontrak Sosial pada Presidensial gambar 2. skema Kontrak Sosial Presidensial (Hendarmin 2007) Dimulai dari Janji Politik calon Presiden pada Rakyat Pemilih (Konstituen), yang disambut oleh dipilihnya calon Presiden tadi melalui pemilu. Kemudian Presiden harus mewujudkan Janji Politik kepada Rakyat Pemilih. Siklus inilah dinamakan Kontrak Sosial. Kemudian karena Rakyat Pemilih tidak dapat melakukan rapat tiap hari untuk mengawasi Presiden terpilih. Sehingga Rakyat Konstituen juga memilih rakyat yang dirasakan terhormat untuk mewakili mereka di Parlemen. Parlemen bertugas untuk “mendukung” Kontrak Sosial yang sudah di sepakati oleh Rakyat dan Presiden, kemudian juga mengawasi jalannya pemerintahan Presiden tersebut. 2. Kontrak Sosial pada Parlementer gambar 3. skema Kontrak Sosial Parlementer (Hendarmin 2007) Sementara itu pada sistim Kontrak Sosial Parlementer berbeda lagi. Rakyat Pemilih akan memilih Partai. Kemudian Partai Partai ini akan membentuk kelompok di parlemen. Namun harus memenuhi syarat tertentu, selain kepentingan. Seperti syarat satu platform atau ideologi, jika tidak maka ini adalah pengkhianatan terhadap Konstituen ideologisnya. Begitu terjadi Koalisi yang besar, maka Koalisi tersebut otomatis dominan dan bisa membentuk Pemerintahan Koalisi. Namun jika yang dominan itu cukup dari satu partai saja, maka partai pemenang itu otomatis disebut Partai Pemerintah. Pemerintahan ini akan menjalankan roda eksekutif dengan dipimpin oleh Perdana Menteri dan dibantu oleh Menteri dari Partainya (jika dominan) atau Partai lain (jika Koalisi). Ini adalah untuk menjalankan Kontrak Sosial dari Janji Partai atau Janji Koalisi Partai. Catatan: Menteri tidak bertanggung jawab pada PM, namun pada Partai masing masing, sebagai perwujudan tanggung jawab Partai terhadap isyu yang mereka ingin selesaikan pada saat kampanye terdahulu. Dalam Parlemen, sebagai bentuk pengawasan. Maka Partai yang tidak dominan atau berkoalisi kecil, akan otomatis menjadi Partai Oposisi. Yang karena perbedaan ideologinya, mereka mengambil sikap selalu berseberangan dengan apa yang diambil oleh Partai Pemerintah atau Partai Koalisi. Sehingga perbedaan dengan sistim Presidensial dimana didalam terjadi “dukungan” terhadap Kontrak Sosial, dalam sistim Parlementer adalah terjadi “oposan” terhadap apapun yang dilakukan oleh Partai Pemenang atau Partai Koalisi. Sikap Oposan juga dikarenakan karena ada perbedaan ideologi dalam menjalankan sesuatu dan harus dipertahankan dalam sebuah integritas politik Partai manapun dalam sistim Parlementer Karakter Parlementer juga lebih labil daripada Presidensial, namun semenjak Birokrasi tidak pernah di utak-atik dalam permainan politik, maka tidak ada guncangan Pemerintahan. Yang ada adalah Dialektika Politik. 3. Kontrak Sosial pada Presidensial kuasi Parlementer gambar 4. skema Kontrak Sosial Presidensial kuasi Parlementer (Hendarmin 2007) terjadi sebuah kondisi yg mengarah pada dua hal negatif: pertama Dead Lock jika Presiden dan DPR sama sama ngotot bertentangan Janji POlitik kedua Terjadi kondisi Oligarkis atau kongkalikong antara DPR dan Presiden alias Monopoli kekuasaan 4. Fatsoen Fatsoen Fatsoen Kenegarawanan o Paham Kedaulatan Rakyat Paham ini berlaku dalam prinsip tingkat I Demokrasi. Pada paham tingkat I non Demokrasi biasanya dikenal Paham Kedaulatan Negara atau Paham Kedaulatan Tuhan. Paham Kedaulatan Rakyat berasal dari prinsip Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, Vox Populii Vox Dei (William Malmesburry abad 12). Dimana Keinginan Rakyat dianggap sebagai kekuatan tertinggi dalam sebuah negara. Kedaulatan Rakyat tidak boleh diatur dalam kerangkeng hukum, namun harus dipahami dan dijamin kebebasannya serta disediakan mekanisme yang diperlukannya. Karena tiap saat Rakyat membutuhkan Negara akan mengadakan sesuai keinginan rakyat. Kemudian fatsoen dari Kepala Negara atau Pemerintah atau Anggota Parlemen adalah tunduk pada isi Suara Rakyat ini. Kedaulatan Rakyat dapat dibagi menjadi empat cara berdaulat. 1. Pemilu Tiap saat rakyat memerlukan, maka Pemerintah dan Parlemen dapat diganti dengan Pemilu. Pemilu adalah sarana untuk mencari pemimpin dan wakil rakyat. 2. Referendum Referendum mirip seperti pemilu, namun tidak untuk mencari pemimpin atau wakil rakyat. Namun setuju atau tidaknya Rakyat pada satu kasus atau opini. Referendum biasanya terbagi dua, untuk persetujuan sebuah RUU (Contoh Swiss pada semua produk UU nya) atau aspirasi kewilayahan rakyat untuk bergabung (contoh Pepera ‘68) atau lepas dari sebuah negara, menjadi negara merdeka (contoh Timor Timur 2001, Singapura ‘65). 3. Konsensus Konsensus adalah opini yang sudah menjadi tekad publik untuk dilaksanakan. The Song is important not the Singer. Konsensus Publik yang dicatat disebut Konvensi namun ada juga yang hanya berupa kesepakatan publik saja. Kesepakatan Publik yang tidak dicatat namun dilaksanakan contohnya adalah Reformasi ’98. dimana ide itu sudah tidak jelas lagi darimana, namun mayoritas Rakyat setuju dengan ide tersebut. Kemudian Konvensi di Indonesia pernah terjadi contohnya adalah Soempah Pemoeda ’28 dan Proklamasi ’45. Konsensus biasanya lahir dalam keterkungkungan ide tersebut, namun sudah menjadi kebutuhan Rakyat untuk mendapatkan atau menjalankan ide tersebut. 4. Pers Bebas Pers adalah mata dan telinga dari Rakyat. Sehingga Publik dapat menilai kinerja Pemerintahana atau Parlemen dari laporan Pers. Pers bisa saja berbohong pada publik, namun ini akan berkonsekuensi pada tidak lakunya media pers tersebut. Contohnya banyak media pers secara bombastis serta tidak kredibel dalam melakukan pemberitaan, namun tiras penjualannya dipastikan jauh lebih kecil daripada media pers yang mempunyai cara pemberitaan sesuai dengan kode etik jurnalistik dan mempunyai kredibilitas. Kebebasan Pers biasanya dijamin dalam negara penganut demokrasi. Walaupun ada beberapa penyesuaian, seperti pada isyu isyu Pornografi sesuai dengan alam budaya negara itu. Namun ada juga kasus unik, dimana Negara Teokrasi Iran ingin menjadi negara Republik Islam Iran. Pemimpin Iran saat itu Ayatolah Rohullah Khomeini mengadakan Referendum pada Desember 1979 untuk meminta restu rakyat Iran, atas gagasan pendirian negara islam, dengan Konstitusi baru. Tanda bahwa Rakyat masih dihargai oleh Negara Republik Islam Iran. o Kepala Negara Kepala Negara adalah Simbol pemersatu bangsa. Dimana Kepala Negara harus mempunyai Fatsoen bebas dari kepentingan politik partai partai dan menempatkan dirinya sebagai tokoh Negara yang mempunyai tugas untuk melindungi semua komponen bangsa. Sehingga Fatsoen Politiknya, Kepala Negara tidak pernah mempunyai musuh politik dan tidak berpihak pada ideologi tertentu. o Hak Prerogatif Bagian dari Fatsoen Politik Kepala Negara adalah pemahaman Hak Prerogratif. Hak Prerogatif adalah hak dan kekuatan ekslusif untuk memerintahkan, memutuskan, menentukan dan menilai sesuatu dimana hak ini hanya berada pada Kepala Negara. Digunakan pada saat Trias Politika dirasakan oleh Publik mayoritas telah melakukan kesalahan. Baik kesalahan dibidang Politik maupun Hukum yang menimbulkan krisis kepercayaan yang hebat. Kepala Negara pada saat itu terjadi harus bertindak untuk menjadi “katup pengaman” dengan menggunakan Hak Prerogatifnya. Sebuah keputusan negara harus diambil sesuai dengan kepentingan publik, sebagai “solusi tertinggi negara”. Dalam krisis politik, jika terjadi konflik antara Eksekutif dan Legislatif yang berpotensi untuk menyebabkan “Dead Lock”, maka hak Prerogatif “Ekstra Konstitusional” (Hendarmin Ranadireksa) dapat diberlakukan. Dengan membekukan Pemerintahan (maksudnya tidak ada keputusan baru, sesuatu yang sudah diputuskan terus berjalan dan roda Pemerintahan rutin berjalan), membubarkan Parlemen dan mengembalikan pada Pilihan Rakyat dalam Pemilu. Untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang baru. Dalam hal hukum, jika terjadi sebuah indikasi kesalahan yang dirasa meresahkan Rakyat, maka Kepala Negara dapat menggunakan mekanisme “katup pengaman” berupa penggunaan Hak Abolisi (untuk membatalkan kasus pernah ada, karena kesalahan dalam penentuan tersangka dan dimajukan ke pengadilan), Grasi (jika terdakwa memang bersalah namun meminta pengampunan negara sebelum eksekusi hukuman dimulai), Amnesti (pengampunan pada saat masa hukuman) dan Rehabilitasi (Pembersihan nama seseorang yang telah mendapat hukuman karena kesalahan pengadilan). Hak prerogatif dalam krisis hukum ini adalah sebuah keputusan negara yang final dan tidak dapat diganggu gugat. Berada diatas keputusan hukum pengadilan tertinggi negara. o Fatsoen Jabatan Kepercayaan Publik Prinsipnya adalah bukan “benar atau salah”, namun “dipercaya atau tidak” oleh Publik. Karena setelah dipercaya publik, sang pejabat kepercayaan publik akan menjadi “warga negara luar biasa”, sehingga mendapatkan predikat “Yang Terhormat”, “Honorably”, “Your Honor” dan sebagainya. Sehingga karena kepercayaan tinggi dari publik itulah, mereka diperbolehkan atau punya legitimasi untuk membuat produk hukum sebagai hasil akhir dari proses politik. Disini persamaan hukum hanya berlaku pada warga negara, bukan “warga negara luar biasa”. Karena tidak mungkin hukum yang merupakan hasil politik, juga dapat diberlakukan pada “pembuat hukum”, menimbulkan masalah pada logika dasar. Namun Fatsoen Jabatan Kepercayaan Publiknya jika seorang pejabat kepercayaan publik sudah “cedera”, atau diragukan lagi kepercayaannya, kebersihannya, dia harus menjaga kebersihan kepercayaan publik pada lembaga politik. Sehingga dia harus mundur dari kancah politik, kembali menjadi warga negara biasa dan baru proses hukum dapat dilaksanakan untuk membuktikan bahwa dia benar atau salah. Ada proses atau mekanisme politik pada pejabat kepercayaan publik yang tidak tahu malu, yaitu proses pengusiran dari parlemen, recalling partai atau proses impeachment (pada Presidensiil). Fatsoen Politik aplikatif pada sistim Presidensial dan Parlementer Fatsoen Politik Presidensial o Individu bukan partai Dalam pemilu sistim Presidensial, yang penting adalah Individu Politisi bukan Partai Politiknya. Partai hanya berlaku sebagai semacam “sekolahan” yang menghasilkan individu politisi yang sudah teruji dalam berbagai event Konvensi konvensi partai. Yang terbaiklah yang diutus Partai untuk berlaga dalam pemilu. Ini berlaku untuk posisi Walikota, Gubernur, Senat, House of Representative (setara DPR) dan Presiden. o Fatsoen Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Jabatan Presiden dalam Presidensial adalah satu orang yang menjabat sekaligus fungsi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Ada saat saat Presiden melakukan fungsi sebagai Kepala Negara, dan ada saat saat Presiden melakukan fungsi sebagai Kepala Pemerintahan. Namun kedua fungsi ini tetap terpisah, tidak melebur hanya saja dijabat oleh satu orang. Oleh karena ada fungsi Kepala Negara yang melekat pada Presiden, maka Fatsoennya Presiden tidak boleh mendukung salah satu partai manapun dalam negara. Fenomena Presiden mempunyai jabatan sebagai “pembina partai” yang ada di Indonesia, tidak dikenal dalam Fatsoen Presiden dalam sistim Presidensial. Karena logikanya adalah Kepala Negara harus melindungi semua komponen bangsa, menjadi simbol pemersatu bangsa, sehingga tidaklah pantas jika Kepala Negara adalah pendukung atau pelindung partai politik tertentu. Sifat kabinetnyapun bernuansa Profesional daripada Politis. Dimana akan diambil tokoh tokoh yang mempunyai keahlian tertentu dan diletakkan dalam posisi Menteri yang bertanggung jawab pada Presiden sebagai kepala pemerintahan. Orang orang dari partainya, mungkin saja ada yang dibawa ke dalam konfigurasi kekuasaan, namun lebih pada sebagai penasihat berbagai bidang atau manajemen pribadi Presiden. Amerika misalnya, biasanya jelas meletakkan “supporting unit” nya di West Wing di kompleks kepresidenan White House. Bukan sebagai menteri menteri di kabinet. Walau ada juga anggota Partai yang diutus untuk memimpin departemen departemen yang strategis, seperti Pertahanan atau Luar Negeri, sisanya mereka utus para profesional untuk mengurusi departemen. o Fatsoen Parlemen dalam Presidensial Fatsoennya adalah sebagai “pendukung kontrak sosial” antara Presiden dan Rakyat. Sehingga tidak pernah ada nuansa oposisi dalam DPR atau Senat sistim Presidensial. Terjadi kontrol, jika Presiden bergerak diluar janji politiknya. Kemudian kontrol juga terjadi, jika Presiden membuat kesalahan pada usaha perwujudan kontrak sosial. Kasus Amerika pada Globar War on Terror 2001, dimana Goerge Bush telah mendapatkan kontrak sosial dengan publik Amerika untuk “memberantas terorisme sampai ke asalnya” dalam kampanye politik jabatan Presiden yang ke 2-nya. Kontrak sosial ini kemudian disampaikan ke Kongres dan Kongres tidak lagi berbicara setuju atau tidak setuju, melainkan berdebat atas berapa ketersediaan anggaran negara untuk dukungan menggelar perang tersebut. Fatsoen Politik Parlementer o Partai bukan individu Kontrak sosial dilakukan oleh Partai terhadap rakyat. Bukan individu politisi kepada rakyat seperti di sistim Presidensial. Sehingga Partai menjadi sangat penting sebagai organisasi pemerintah bayangan karena mempunyai departemen yang sama dengan departemen negara. Untuk mengolah kebijakan yang sesuai dengan cabang departemennya. Ketua Partai otomatis menjadi Ketua rombongan Partai di Parlemen. Partai di Parlemen masih terbagi bagi lagi dalam Faksi faksi yang diketuai oleh pemimpin faksi. Ini bukanlah perpecahan dalam tubuh partai, namun lebih pada dialektika dalam tubuh partai. Terjadi perbedaan tata cara dan pandang pada sebuah masalah. Faksi faksi ini bisa saja melebur, bubar, menguat, tergantung dari isyu yang berkembang. Lebih pada budaya kritik internal daripada oposisi. Kemudian partai yang menang, Ketua Partainya otomatis menjabat Perdana Menteri. Sebagai fungsi dari Kepala Pemerintahan. Dalam nuansa ini, Kepala Pemerintahan sangat logis untuk mendapatkan dukungan Partainya. Sehingga tidak ada masalah moral dan etika untuk mempunyai, mendukung atau menganut ideologi yang bertentangan dengan partai lainnya. Yang tidak boleh adalah membawa satu ideologi politik menjadi ideologi negara, seperti yang terjadi pada Nazi Jerman pada saat memenangkan pemilu 1930. Kemudian ketika Presiden Soekarno ingin mendirikan sistim mono partai (Partai Nasionalis “Pelopor”) pada tahun 1946 yang kemudian dicegah oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dengan mengeluarkan Maklumat X, yang mendukung berkembangnya sistim multi partai, karena dirasakan tidak sesuai dengan Fatsoen Politik Parlementer. o Fatsoen Koalisi Dalam tradisi sistim Parlementer, fatsoen berkoalisipun diatur. Yaitu hanya bisa berkoalisi dengan satu ideologi dengan partainya. Partai selain dipilih karena janji politik, juga dipilih karena membawa ideologi tertentu yang di setujui oleh Konstituennya atau Rakyat Pemilihnya. Sehingga berkoalisi karena kepentingan politik semata tapi bergabung dengan yang berideologi lainnya, dianggap sebagai pengkhianatan langsung terhadap Konstituennya. Karena ideologi akan merefleksikan cara cara tertentu yang khas untuk membawa janji politik kepada rakyat. Sehingga bercampur dengan ideologi lain akan mengaburkan cara cara tertentu yang khas tadi. Atas dasar Fatsoen itu jugalah sebuah partai memilih untuk tidak bergabung dengan partai pemenang atau koalisi besar, karena ingin mengkritisi cara cara partai pemenang / koalisi mayoritas, karena dianggap tidak sesuai dengan keyakinan ideologi yang dianut oleh partai tersebut. o Fatsoen Restu Kepala Negara Dalam sistim Parlementer, sebagai Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri juga wajib untuk melindungi keutuhan dan kedaulatan wilayah negaranya. Pada saatnya berperang, Perdana Menteri mempunyai Fatsoen untuk meminta Restu Kepala Negara untuk “menggunakan” angkatan perang milik kerajaannya. Ada juga saat, setelah usai terjadi kudeta militer, pemimpin militer biasanya menjalankan Fatsoen meminta Restu Kepala Negara telah “mengamankan” kekuasaan pemerintahan. Karena pada hakikatnya militer adalah kepunyaan dari Kepala Negara, sebagai alat satu satunya. Sehingga mereka melaporkan kegiatan mereka atas nama keamanan nasional negara yang sedang terancam kepada pemiliknya, yaitu raja/sultan/kaisar/ratu monarki negara tersebut. Pada saat damai, Fatsoen Restu Kepala Negara juga ada ketika pembukaan rapat Parlemen awal tahun sebagai simbol Negara merestui kegiatan politik tersebut. Demikian juga ketika Fatsoen Restu Kepala Negara diberikan ketika melepas kontingen atlit yang akan membela nama dan kehormatan negara mereka ketika Olympiade. Referensi Magnis-Soeseno, Franz, Etika Politik-prinsip prinsip moral dasar kenegaraan modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003 Huntington, Samuel P., The Soldier and The State, The Soldier and The State, a theory and politics civilian-military relationship, Belknap Press, 1957 Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, 2007 Microsoft Corporation’s Microsoft Encarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H