Keadaan saat ini generasi muda cenderung sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu dan tidak penting sama sekali. Duduk-duduk di warung kopi hanya untuk wifian demi bisa main game online dan streaming youtube nonton film atau sekadar mendengar musik. Bersyukur kalau hal yang ditontonnya itu positif dan mendidik atau bersyukur pula jika game onlinenya itu bukan game kekerasan dan vulgar.Â
Sebenarnya mereka bisa memanfaatkan waktu untuk hal yang lebih baik dan mengisi masa muda mereka dengan kegiatan yang positif membangun karakter dan moral mereka sebagai anak muda zaman now. Berkarya dan mendedikasikan diri mereka untuk membangun negara, bukan hanya sibuk mengeluh pada pemerintah atas segala kekurangan yang dirasakan.
Tetapi mereka membuang-buang waktu disaat seharusnya mereka bisa memanfaatkan waktu untuk menggenggam cakrawala pengetahuan yaitu membaca sebuah buku atau menulis sebuah karya. Daripada terbelenggu dengan gadget dan nongkrong basa basi. Apalagi di warung kopi itu sebenarnya bisa menjadi tempat yang sangat demokratis untuk berbagi pikiran dan pendapat kita dengan orang-orang yang mau diajak berdiskusi membahas suatu problema atau dinamika sosial yang terjadi di sekitar kita.
Namun apa mereka mau akrab dengan buku pengetahuan atau buku apa pun yang dapat membuka jendela dunia untuk mereka lihat dan rasakan? Apa mereka mau menulis suatu karya yang dapat menginspirasi banyak orang? Apa mereka mau belajar untuk peduli dengan keadaan sekitar dan mencari solusi dari suatu permasalahan? Lagi-lagi kepedulian anak muda perlu dipertanyakan dan kesadaran literasi harus dibangun sedari dini.
Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya dan pengalaman. Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis, namun lebih dari itu... Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam hidupnya. Kemampuan membaca kata dan membaca dunia adalah seni literasi.
Tetapi sayangnya kita terjebak pada cara berpikir yang pendek, literasi dipahami sebagai kemampuan membaca teks dan menghitung numerik. Ini terlalu minimalis sehingga nantinya bisa menjebak kita pada kepentingan skill literasi, padahal skill literasi adalah buah dari kesadaran yang substansial.Â
Dengan ibarat sebuah pohon, kesadaran literasi adalah akar. Jika kita membangun gerakan literasi tanpa memastikan kesehatan akarnya maka tak ubahnya menanam pohon plastik. Indah tetapi kita tidak bisa menikmati rasa manis buahnya, benar bukan???!!! Sesungguhnya Literasi adalah Segala daya dan supaya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik! Upaya mulia ini mestinya dimulai dengan membangun kesadaran literasi terlebih dahulu di kalangan muda.
Ada suatu fakta yang sangat memprihatinkan bagi kita tentang Indonesia. Berdasarkan studi Most Littered Nation In The Word yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara mengenai minat membaca. Padahal dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.Â
Penilaian berdasarkan komponen infrastruktur Indonesia ada di urutan ke-34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan. Ha ini disampaikan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan pada Sabtu (27/8/2016) dalam acara final Gramedia Reading Community Competittion 2016 di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Dari fakta tersebut kita dapat simpulkan bahwa begitu kurangnya budaya literasi pada masyarakat sehingga WAJIB KITA BANGUN KESADARAN LITERASI KALANGAN MUDA untuk memperbaiki citra bangsa Indonesia di mata dunia dan mampu berdaya membangun perubahan yang nyata untuk kemajuan bangsa agar Indonesia menjadi lebih baik.
Indonesia mendapatkan efek negatif sebagai negara berkembang yang mau tidak mau kita hanya mengekor pada kemajuan zaman yang di gagas oleh negara maju. Kemana zaman bergerak, disana kita terus mengikuti. Perubahan dunia dengan budaya digital yang disadari atau tidak ternyata membawa dampak buruk bagi kita. Oleh karena kita baru saja berbenah diri dari tradisi budaya lisan menuju budaya tulisan namun sebelum kita berhasil mapan, budaya digital telah masuk ke Indonesia.
Akibatnya adalah membuat kita tenggelam dalam lautan informasi yang kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Semua yang ada di internet dan media sosial, kita anggap sebagai kebenaran dan menelannya mentah-mentah tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu bahkan tak ragu menyebarkannya. Pola pikir seperti inilah yang salah dan harus diperbaiki dengan membangun kesadaran literasi yang dapat membuat nalar masyarakat lebih kritis dan teliti dalam menanggapi segala sesuatu termasuk berita hoax dan provokasi yang merusak kedamaian.
Saat ini kita semua bergantung pada teknologi dan kita lebih akrab dengan gadget, tablet, notebook atau laptop dan lainnya daripada menghabiskan waktu dengan buku bacaan atau apakah mungkin kitab Al-quran di rumah juga sampai berdebu lantaran jarang dibaca? Begitu terbuainya kita dengan keasyikan dan hiburan yang didapatkan dari gadget sampai membuang waktu yang berharga dan seharusnya bisa kita manfaatkan.
Apakah ini salah teknologi? Sebagian orang memang menyalahkan teknologi sebagai penyebab masyarakat tidak mau membaca apalagi menulis sehingga budaya literasi semakin luntur di era digital yang marak dengan gawai atau gadget. Tetapi tidak bisa diungkiri bahwa teknologi bagai mata uang yang memiliki dua sisi, bukan hanya negatif... Tetapi juga positif dan bisa dimanfaatkan untuk banyak hal termasuk membangun kesadaran literasi. Contohnya adalah saat ini anda sedang membaca tulisan saya mengenai Membangun Kesadaran Literasi Kalangan Anak Muda maka secara otomatis saya telah menyebarkan dan mentransfer informasi juga ilmu kepada anda yang membaca tulisan ini. Sederhana memahaminya bukan?
Gadget memang menawarkan permainan dan hiburan yang menarik. Tetapi, membaca dan menulis juga tak kalah menarik jika membiasakannya sekarang atau sejak dini. Sebenarnya mengenai era digital, di internet justru tersedia banyak buku-buku yang berbentuk softcopy dari yang gratis sampai berbayar tersedia yang kita kenal dengan sebutan ebook. Inilah pemanfaatan teknologi yang bisa kita gunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan dari berbagai literatur atau sumber sebagai bentuk kesadaran literasi. Tentunya dengan tidak melunturkan budaya membaca buku!
Membangun kesadaran literasi pada masyarakat khususnya kaum muda sebagai subyek yang strategis supaya bisa menemukan akar kesadaran sehingga Kampung Literasi akan hadir begitu nyata menjadi bagian dari gerakan pemberdayaan masyarakat cerdas!
Di tengah perkembangan zaman, kita terbuai oleh keberhasilan pembangunan fisik. Sementara gerakan literasi yang dijadikan ujung tombak membangun jiwa bangsa terasa begitu senyap. Bukankah infrastruktur fisik seperti jalan yang berlubang segera ditambal... Lantas, SIAPAKAH YANG AKAN MENAMBAL PIKIRAN MASYARAKAT YANG BERLUBANG?
"Loving to read and write books makes you a knowledgeable person, has a sense of caring, and is able to think critically. So literacy is very important to make life better".
Ade Mesti Anugrah,
Pelajar Sma Islamiyah Pontianak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H