Mohon tunggu...
ADELYTA RIZKYAMELYA
ADELYTA RIZKYAMELYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Pengesahan RUU Etika Penyelenggara Negara dalam Perspektif Korupsi

3 November 2022   19:51 Diperbarui: 3 November 2022   19:51 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Harapan akan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) pasca peralihan sistem demokrasi dari pola lama yang menerapkan demokrasi tidak langsung menuju demokrasi langsung (direct democracy) ternyata tidak kunjung membawa berkah dalam wujud perubahan mendasar. Justru yang terjadi adalah fakta yang sangat kontras. 

Korupsi kepala daerah semakin menjalar hingga ke berbagai penjuru tanah air. Budaya mengagung-agungkan otonomi daerah sebagai jalan memacu percepatan rakyat hingga detik ini belum terlihat benang merahnya. Secara konseptual, politik uang yang terjadi secara massif dan sistematis dalam konstetasi di tingkat local, membentuk hubungan "simbiosis mutualisme" yang berbahaya bagi proses demokrasi dan pemerintahan lokal. 

Besarnya mahar politik yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah akan sejalan dengan proses pengembalian modal politik yang akan dilakukan ketika mereka terpilih. Pada titik inilah politik uang dan korupsi politik memiliki relasi yang tidak bisa dipisahkan.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum. Tentu tidak asing, terkait sosok yang sedang riuh diperbincangkan masyarakat dialah Lukas Enembe Gubernur Papua, dengan dugaan gratifikasi mencapai angka fantastis sebesar Rp 1 miliar yang disangka KPK dan turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. 

Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas bisa dianggap sebagai kepala daerah paling korup sepanjang sejarah. Anehnya, aliran dana tidak wajar yang dilakukan oleh Lukas terjadi sejak tahun 2017 hal ini tentu menciderai peran inspektorat yang lemah sebagai aparat pengawas internal pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi yang wajar utuk dipertanyakan.

Fakta yang cukup menarik juga terjadi setelah seminggu ditetapkannya Lukas sebagai tersangka, ratusan simpatisan Gubernur Papua tersebut  melakukan aksi unjuk rasa baik di Jakarta maupun di Papua dengan menggaungkan "Save Gubernur Papua" sebagai headline aksi demo untuk menunjukan dukungan pada sosok yang mereka yakini tidak melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang dituduhkan oleh KPK. Hal ini membuktikan bahwa kendati korupsi adalah masalah struktural di Indonesia, namun pemberantasan korupsi menjadi lebih sullit karena kondisi sosial masyarakatnya masih memandang tokoh berdasar benefit sosial dan ekonomi yang telah diberikan tokoh itu terhadap masyarakat. 

Walaupun sampai saat ini pemeriksaan terhadap Lukas belum juga dilakukan karena kondisi kesehatan yang bersangkutan, namun dilansir dari sejumlah pemberitaan yang saat ini tengah ramai dibicarakan adalah diangkatnya isu penyelasaian kasus korupsi tersebut secara adat, seperti apa yang disampaikan oleh pengacara Lukas yaitu Aloysius Renwarin, tentu hal ini menggambarkan bagaimana proses pemeriksaan terhadap Lukas berlangsung alot dengan mengangkat isu-isu yang sudah jelas duduk perkaranya, dimana dalam sistem hukum Indonesia, hukum adat memang diakui eksistensinya sebagai salah satu hukum yang sah, sesuai dengan yang tersebut pada Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, namun akan terkesan sangat mengada-ada apabila hukum adat digunakan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi, sebab Lukas Enembe dipilih menjadi Gubernur oleh rakyat, dan dugaan tindakan korupsi yang dilayangkan kepadanya dalam kapasitasnya sebagai Gubernur dan bukan sebagai Kepala Suku sehingga hukum positif yang berlaku secara nasional dan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku menjadi mutlak untuk diterapkan dalam menangani kasus korupsi Lukas Enembe. Perihal apabila hukum adat ditanah Papua akan memberikan sanksi moral atau adat kepada pelaku tindak kejahatan, hal tersebut tentu saja tidak berpengaruh pada proses penegakan hukum postif.

Maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara baik ditingkat nasional maupun local sungguh sangat memprihatinkan, sehingga mendasari konsep pemikiran untuk perlunya memformulasikan norma etika penyelenggara negara dalam sebuah kebijakan/politik hukum negara. Penegakan melalui lembaga yang bersifat internal dirasa tidak mampu menciutkan nyali para penyelenggara negara dalam melakukan berbagai penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di berbagai tingkatan, yang dibuktikan dengan masih maraknya kasus-kasus pelanggaran pidana dan etika yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. 

Oleh karena itu saatnya diperlukan pengaturan yang lebih tegas dan otoritatif dalam bentuk Undang-Undang Etika Penyelenggara Negara. Undang-Undang Etika Penyelenggara Negara ini diperlukan bukan untuk menjerat para penyelenggara negara yang menyimpang tetapi lebih dimaksudkan untuk menjaga harkat dan martabat para aparatur penyelenggara negara agar bisa melaksanakan tugasnya secara maksimal dalam rangka pencapaian tujuan negara. 

Undang-Undang ini nantinya selain mengatur kode etik dan kode perilaku para penyelenggara negara juga perlu membentuk pengawasan yang tidak bersifat ad hoc dan eksternal guna mengawasi perilaku para penyelenggara negara agar tidak menyimpang dan melanggar kode etiknya. Selama ini, pengawasan perilaku para penyelenggara negara dilakukan oleh komite etik yang bersifat ad hoc dan internal.

Ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, dan larangan yang akan diatur di dalam Rancangan Undang-Undang ini harus bersifat secara umum dan dapat diterapkan kepada seluruh penyelenggara negara, karena tujuan dari RUU ini adalah sebagai landasan bagi ketentuan "payung" sehingga harus bersifat secara umum (general). Dengan demikian hak, kewajiban, dan larangan yang akan diatur disini harus ditarik dari prinsip-prinsip umum atau garis besar pengaturan yang ada di berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan berbagai kode etik penyelenggara negara yang sudah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun