Taukah kalian, apa Self-Diagnosis itu? self-diagnosis adalah usaha mendiagnosis apa yang terjadi pada diri sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan bukan dari tenaga medis, seperti dokter, psikiater, ataupun psikolog.
Di tengah pandemi ini, orang-orang pada umumnya merasa ragu untuk berkonsultasi atau memeriksakan keluhan yang mereka rasakan kepada tenaga medis. Hal ini dikarenakan oleh ketakutan mereka akan tempat-tempat seperti rumah sakit dan Puskesmas yang sekarang ini merupakan tempat berobat para pasien yang terjangkit Covid-19. Akibatnya, orang-orang lebih memilih untuk mendiagnosa diri mereka sendiri dengan cara bertanya kepada orang lain ataupun mencari lewat internet.
Seperti yang kita ketahui, beberapa sumber informasi di internet bukanlah hal yang tepat untuk kita percayai. Bukan hanya karena informasi atau penjelasan yang salah, tetapi juga karena kita sendiri yang kurang pintar dan kritis dalam memilahnya. Kesalahan dalam memilah informasi tersebut memiliki akibat yang fatal.
Misalnya, flu dan Covid-19 pada umumnya memiliki gejala yang hampir sama, yaitu demam dan pilek yang disertai batuk. Ketika merasakan salah satu gejala tersebut kita akan mulai menduga-duga tentang hal-hal yang sebenarnya belum kita ketahui kebenarannya sehingga membuat diri kita cemas dan waswas berlebih.
Contoh lain, ketika kepala kita terasa sakit, kita akan berpikir tentang penyakit yang menyangkut kanker, tumor otak, dan lain sebagainya, padahal yang kita alami saat itu hanyalah sakit kepala biasa. Singkatnya, mengalami salah satu atau dua gejala dari suatu penyakit tidak berarti kita mengidap penyakit tersebut. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang melakukan self-diagnosis menganggap remeh apa yang mereka rasakan, sehingga menyebabkan keterlambatan penanganan medis ataupun psikologis. Akibatnya, penyakit baru ditemukan setelah keadaan kita memburuk.
Adapun belakangan ini kita tahu tentang adanya situs self-diagnosis di internet. Situs ini menyediakan fitur dimana para penggunanya dapat mengetahui suatu penyakit hanya dengan mengetikkan gejala apa saja yang mereka alami.
Bahaya dari penggunaan situs ini adalah terjadinya kecemasan berlanjut dari salah atau benarnya informasi yang mereka dapat. Terlebih lagi jika mereka mencoba untuk mengobati diri sendiri menggunakan obat bebas ataupun resep dari internet tanpa adanya jaminan seorang profesional (Angela, Sue, 2008).
Dikutip dari jurnal The International Indian Psychology “Self-Diagnosis in Psychology Students”, self-diagnosis sendiri memiliki efek positif dan negatif. Efek negatifnya lebih lanjut dibagi menjadi efek kognitif, afektif, dan tingkah laku. Efek kognitif yang ditimbulkan dapat membuat subjek merasa tidak yakin dengan apa yang ia rasakan. Berikutnya adalah efek afektif yang dapat ditimbulkan dari self-diagnosis adalah subjek dapat mengalami stres yang mengorientasikan kepada masa depan. Sedangkan efek tingkah laku yang terjadi adalah kemampuan penyesuaian diri yang buruk (Aaiz, Stephen, 2017). Adapun efek negatif lainnya yaitu dapat menimbulkan mental-illness dikarenakan rasa khawatir yang berlebih.
Tidak hanya memiliki efek negatif, self-diagnosis juga memiliki efek positif jika ditanggapi dengan penanganan yang tepat.
Contohnya, saat kita merasakan sakit, kita akan memiliki berbagai prasangka buruk tentang kesehatan kita, tetapi hal itulah yang membantu meningkatkan self awareness dalam diri kita. Jika kita menanggapinya dengan pikiran yang kritis, kita akan berpikir untuk menghubungi tenaga medis sesegera mungkin untuk membuktikan apakah prasangka buruk kita ini adalah benar atau salah, sehingga dapat mengurangi resiko bertambah parahnya keadaan kita.
Kesimpulannya, kita boleh saja melakukan self-diagnosis. Namun dengan catatan, kita harus selalu berpikir kritis dengan cara segera menghubungi tenaga medis dan jangan asal mempercayai informasi yang belum diketahui kebenarannya apalagi sampai salah minum obat.