Buku-buku bertebaran dilantai kosku yang sempit dan penuh sampah bekas makanan. Tidak butuh orang pintar untuk menyatakan kalau aku ini seorang yang jorok. Sebenarnya, aku mempunyai waktu untuk membersihkannya, banyak waktu malah, tapi karena dasarnya aku memang pemalas, pekerjaan membersihkan acapkali tertunda. Juga, dari kecil aku terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuaku. Bahkan ketika aku saat aku sudah smu sekalipun, ibukulah yang repot-repot membersihkan kamarku pada hari minggu setelah sebelumnya mengomel panjang. Sampai sekarang, ibuku masih mengomel padaku agar aku rajin membersihkan kamar. Bedanya, sekarang aku di omeli lewat hape dan kosanku tidak akan bersih kalau bukan aku sendiri yang membersihkannya.
Aku menatap nanar keadaan sekelilingku yang sudah seperti tempat sampah ini. Ya, tidak salah kalau aku berkata kamarku ini sebagai tempat sampah. Kamu bisa bayangkan, sudah 2 kali tikus got besar berwarna hitam dengan bulunya yang penuh lumpur masuk kedalam kamar kosanku dengan enteng. Kecoapun ketika aku terjaga malam harinya untuk mengambil minumpun sering aku lihat bermain-main diantara tumpukan sampah bekas makananku yang menggunung. Aku yakin dia berpikir dia sedang berada disurga saat dia melihat banyaknya remah-remah cemilanku yang tanpa aku sadari sudah berubah warna.
Tidak cukup sampai disitu bahkan binatang yang tidak aku berbahaya seperti kelabang merah pernah masuk ke kamar kosanku tercinta ini. Aku masih ingat bagaimana dia dengan santainya berjalan dengan kakinya yang berjalan seirama kebawah tumpukan buku dan memejamkan matanya disana. Aku kemudian mengeluarkannya dengan bekas bungkus cemilan kacang yang kubeli seminggu lalu. Paling tidak sampahku ada gunanya pada saat seperti ini.
Huft...., aku meregangkan badanku sambil bangkit dari duduk. Setelah aku merasa otot-ototku lebih segar dan nyaman untuk dibawa bergerak, aku bergegas keluar mengejar seseorang yang lewat didepan kamar kosanku.
“pak..., tunggu sebentar...”aku memanggilnya dengan agak sedikit keras.
Bapak tua yang memikul beban berat dipunggungnya berpaling kearahku. Kemudian sambil tersenyum dia berjalan kearahku. Aku renyuh melihat senyumnya, sebuah senyuman yang terlihat penuh harapan. Wajahnya yang keriput dengan gigi yang terlihat kuning dan cuma tinggal beberapa semakin membuat hatiku iba dan kasihan. Ah, sudah lama aku perhatikan ini, aku ini memang orang yang melankolis dan sentimentil.
“beli apa nak....?”tanyanya padaku sambil meletakkan barang dagangannya yang aku pikir beratnya paling tidak sebesar 60 kg. Memikul beban seberat ini dan membawanya berpuluh-puluh kilometer setiap hari. Anda pantas mendapatkan medali bapak tua pekerja keras.
“nak...?” si bapak menyadarkanku dari lamunan, aku sedikit tersentak kaget mendengar suaranya yang terdengar tidak begitu jelas.
“eh ya pak..., sapu ini, saya ambil satu....”kataku sambil mengambil sebuah sapu plastik bergagang warna merah.
“terimakasih nak...”kata sibapak beranjak dariku setelah aku membayar sapu yang dijualnya adegan tawar menawar barang. Kamu pikir aku gila apa masih menawar saat melihat keadaan sibapak yang kayak gitu.
Yosh..., aku kembali meregangkan tubuhku sambil kali ini membuka pintu kamar kosanku lebar-lebar. Ah..., kecoa besar berwarna coklat yang sering aku jumpai saat terbangun pada malam hari terlihat menderita dimulut seekor cicak. Meskipun dia terlihat meronta-ronta dengan keras, gigitan cicak yang tubuhnya tidak terlalu besar tersebut masih terlalu kuat untuk tubuhnya yang sudah melemah.
Meskipun kasihan, aku tidak mungkin membantunya lepas dari gigitan predator dinding ini. Selain tidak mau mengambil rezeki cicak bermata besar tersebut, kalaupun aku selamatkan si kecoa juga pasti bakalan mati dalam beberapa menit. Jadi, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mengusir cicak tersebut dengan kecoa yang sedang meregang nyawa dimulutnya.
Beberapa saat setelah adegan salah seorang yang dijuluki oleh masyarakat sebagai agen perubahan mengusir cicak dari kamarnya. Aku langsung bergerak mengambil kresek hitam besar yang aku simpan disakuku. Segera tanpa buang waktu aku mengambil bungkus cemilan yang berserakan, kertas-kertas yang berisi penuh coretan gambar iseng yang aku buat saat sedang bosan, kulit jeruk yang aku beli 2 hari yang lalu, dan setiap barang yang aku pantas untuk disebut sebagai sampah untuk dimasukkan kedalam kantong kresek hitam yang sedang aku pegang.
Setelah itu melanjutkannya dengan merapikan buku-bukuku yang berserakan dan meletakkannya ketempat yang seharusnya. Namun, ternyata tempat bukuku sudah tidak muat lagi untuk menampung buku-bukuku yang sudah bertambah banyak tanpa aku sadari. Terpaksa aku menumpuknya dengan rapi disudut kamar sembari berencana untuk membeli rak buku yang baru bulan depan. Aku tersenyum melihat beberapa bukuku yang terlihat kumal dan ada bekas makanan beberapa diantaranya. Kebiasaanku untuk membaca saat makan memang susah untuk dihentikan. Bahkan saat makan diluarpun aku tidak akan bisa makan dengan tenang, kalau tidak ada hape ditangan. Untunglah jaman sudah canggih, aku bisa menyimpan banyak buku dalam sebuah benda kecil yang bisa digenggam tangan.
Ah sudahlah..., kenapa jadi ngelamun lagi. Sementara masih banyak pekerjaanku untuk membersihkan kamar kecil ini. Belum lagi mencuci karpen dan mengepel lantai. Aku rasa mungkin bakalan membutuhkan waktu beberapa jam. Akh, berpikir begitu, semangatku yang tadinya menggebu-gebu mendadak turun saat berpikir pembersihan ini bakalan berjalan lama. Namun...,
“aku tidak suka orang yang kotor...”.
Suara lembut yang sangat aku kenal mendadak bergema dikepalaku. Aku mendesah dengan sesungging senyum diwajah. Apalagi saat sosok yang suaranya merdu bak burung nuri terbayang jelas dalam ingatanku. Hahaha..., bagaimana bisa aku lupa alasan kenapa mendadak saja aku tergerak untuk membersihkan kamar kosanku yang membuat ibuku kos kebingungan tidak percaya. Bagaimana bisa aku lupa terhadap seseorang yang menjadi alasanku untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga pantas untuk mendapat perhatiannya.
Kemudian tanpa pikir panjang aku meraih sapu yang baru aku beli tadi untuk mendapatkan sentuhan pertamanya. Sambil bersungut-sungut menyapu bekas roti dan cemilan yang ada dikarpet aku mengeluh lirih
“Sial..., dia itu siapa sih...?”
Tanpa aku sadari, akupun kembali tersenyum dengan khayalan yang melayang-layang dikepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H