[caption caption="Salah seorang polantas wanita Australia siap berpatroli. "][/caption]
Taksi biru yang saya tumpangi meluncur membelah jalan tol yang sedikit padat. Sesekali ia menyelip ke kiri, lalu ke kanan.
Saya sedikit pusing. Ketika melihat bahu jalan yang kosong, sang sopir tanpa ragu masuk dan melewati mobil-mobil lain yang rela berjalan lambat karena padatnya kendaraan.
Si Biru terus meluncur dan tiba-tiba di ujung sana terlihat polisi melambai-lambaikan tangan meminta taksi saya berhenti.
Bukannya mematuhi perintah polisi, sang sopir malah tambah ngebut ketakutan, melesat melewati jajaran mobil yang antri masuk pintu tol.
Tepat dekat loket pembayaran, ia menukik ke kiri memotong antrian. Sontak terdengar suara-suara klakson bernada protes. Tetapi ketakutan sang sopir membuatnya nekad, tak peduli.
Buru-buru ia membayar lalu melesat lagi dengan mata terus mengawasi spion, jangan-jangan pak polisi tadi memburu dengan motor saktinya...
Kejadian ini saya alami di jalan tol Ir. Sedyatmo dalam perjalanan dari bandara Soekarno Hatta, Tangerang.
Saya hanya mengurut dada melihat kelakuan sang sopir. Apa jadinya bila ia menabrak orang lain hanya gara-gara menghindari pak polisi? Bila ia menabrak orang lain, bukankah bakal lebih merugikan dirinya sendiri? Mengapa ia begitu takut pada polisi?
Apakah sedemikian repot atau rugi bila melanggar hukum di jalanan? Ataukah ada yang salah sehingga ia (dan mungkin masyarakat) selalu enggan berurusan dengan penegak hukum nan adil?
Angan saya melayang kembali ke suatu masa ditahun 2012 kala saya berada di belahan dunia Selatan, tepatnya Australia. Sebagai warga baru, berurusan dengan polisi di jalanan Australia sangat lumrah terjadi. Polisi Australia jarang terlihat di jalanan. Pos polisi pun hampir tidak terlihat. Herannya, setiap terjadi masalah atau kecelakaan, mereka dengan cepat muncul, entah darimana.