Saya pertama kali ditilang ketika mengantar anak ke sekolah. Waktu itu saya tidak memperhatikan rambu di dekat gerbang masuk sekolah. Saya pun memarkir kendaraan lalu mengantar anak ke dalam sekolah. Setelah chit chat sebentar dengan Miss Diana, sang wali kelas, saya pun keluar untuk kembali ke rumah.
Seorang pria berseragam berdiri dekat mobil saya, sepertinya menunggu seseorang. Ketika saya membuka pintu mobil, ia mendekat dan menyapa sopan. Saya perhatikan pakaiannya bukanlah seragam polisi tetapi mungkin semacam Satpol PP kalau di Indonesia. Di tangannya ada mesin kecil mirip mesin gesek (electronic data capture - EDC) kartu kredit. Ia memberitahukan bahwa saya memarkir di tempat yang salah.
Seharusnya saya hanya berhenti, menurunkan anak dan segera pergi. Saya mendongak dan melihat rambu yang memang terpampang jelas di situ. Hmmm, buru-buru pun jadi alasan.
Ia menerima permintaan maaf saya, tetapi ia memencet beberapa tombol di mesin genggam itu. Terdengar suara berderit halus, lalu keluarlah kertas mirip struk belanja. Ia menyodorkan kertas tersebut dan menjelaskan bahwa saya harus membayar denda sebesar A$67 (sekitar Rp650 ribu) di kantor pemda yang ditunjuk, sebelum tanggal yang ditetapkan di kertas tersebut. Ia pun berlalu dan memeriksa kendaraan lain di sekitar situ. Â
Waduh, hanya salah parkir sebentar dapat tilang segitu, pikirku. Tapi yang menarik perhatian saya adalah selembar kertas tilang yang begitu praktis, hanya seukuran struk ATM, bukannya berlembar-lembar.
Beberapa hari kemudian, saya bersama teman-teman bepergian ke tempat yang sedikit lebih jauh. Sebagai orang baru, saya tentu tidak terlalu paham jalanan meski sebetulnya mudah saja bila menggunakan GPS. Tapi karena berombongan, saya memilih untuk mengekor teman yang ada di kendaraan di depan.
Celakanya di sebuah lampu merah, saya terjebak. Kendaraan yang saya ikuti melaju pas saat pergantian lampu kuning ke merah. Saya pun tidak ingin kehilangan jejak dan terus mengekor, meski lampu sudah berubah merah. Hati saya berdebar, jangan-jangan akan ada sempritan...ataukah polisi akan segera mengiung-ngiung di belakang saya. Ternyata tidak. Saya tiba di rumah dengan selamat.
Namun, sekitar 3 hari kemudian sebuah surat dari kepolisian muncul di kotak surat. Saya membuka amplopnya dan menemukan sebuah tagihan senilai A$460 (Rp4,5 juta) di dalamnya!
Di tagihan tersebut dijelaskan antara lain bahwa kendaraan saya melanggar lampu merah di South Road tanggal sekian, jam sekian... Bahwa saya harus segera membayar denda tersebut sebelum tanggal sekian. Jika merasa tidak bersalah, saya bisa mengajukan keberatan supaya pihak kepolisian menyediakan rekaman foto dan yang lainnya.
Tentu saja saya keberatan, maksud saya nilai tilang tersebut cukup besar bagi saya. Bisa dipakai untuk bayar sewa rumah 2 minggu. Namun apa daya, saya ingat bahwa saya memang melanggar. Dan saya pun membayarnya, cukup lewat internet banking. Tidak perlu repot kehilangan waktu untuk datang ke persidangan.
Yang saya kagum dari sistim tilang ini adalah kemudahan prosesnya. Polisi sama sekali tidak menyita surat-surat apalagi kendaraan. Prosesnya pun efisien, pemberitahuan cukup lewat surat, dan pelanggar diberi waktu yang cukup untuk melakukan pembayaran. Walau hukuman cukup berat dari sisi keuangan, proses hukuman tidak mesti bikin stress rakyat.