Hal ini tentu membuat kita perlu berpikir lagi tentang berapa lama sebetulnya jam kerja yang pas. Namun pendapat Russell bahwa "bekerja lebih sedikit akan menjamin kebahagiaan hidup, bukannya saraf tegang atau kecemasan" bisa menjadi salah satu faktor pendorong produktifitas. Demikian juga pendapat Adam Smith nan kesohor itu patut disimak:
"...man who works so moderately as to be able to work constantly, not only preserves his health the longest, but in the course of the year, executes the greatest quantity of works"
Bekerja dengan jam kerja yang pas secara teratur bisa membuat seseorang lebih sehat, sehingga dalam jangka waktupanjang sebetulnya menghasllkan lebih banyak pekerjaan.
Meski tahu bahwa jam kerja lama tidak akan selalu bermanfaat dalam jangka panjang, banyak pihak yang mengejar kinerja dan memilih kebijakan jalan pintas ini. Bisa jadi tidak melulu untuk produktifitas, tetapi demi citra supaya terlihat seolah lebih rajin. Atau persiapan menjadi alibi bila prestasi tidak tercapai. "Kami sudah bekerja lebih keras, Anda lihat kami lembur setiap hari...tetapi apa daya... kami sudah berusaha...bla bla..."
Bekerja lebih lama, bukan berarti bekerja lebih baik bukan? Mungkin memang yang diperlukan adalah bekerja cerdas dan efisien. Karena jam kerja lebih tinggi ternyata tidak selalu berarti lebih baik dan tidak pantas jadi ukuran kinerja.
Hmmm...sepertinya ada yang mau studi banding ke Jerman nih soal jam kerja...
Selamat berkarya Guys...
Thx to: The Economist, OECD, etc...
(Picture credit: Thenextweb.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H