Mohon tunggu...
Adeltus Lolok
Adeltus Lolok Mohon Tunggu... PNS -

Pendiri http://howmoneyindonesia.com. Berkarya sebagai aparat dan pelayan masyarakat; pecinta alam, seni, dan keunikan manusia. Senang menulis.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Rokok, Salah Satu Penyebab Kemiskinan di Indonesia

27 Agustus 2015   21:46 Diperbarui: 27 Agustus 2015   21:46 2099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali tarif cukai rokok naik, selalu ditanggapi dengan gerutu para perokok. Bahkan bisa jadi ibu-ibu yang tidak merokok ikutan mengeluh karena kenaikan cukai rokok pasti diiringi kenaikan harga jual rokok yang –memang- pada akhirnya akan membebani anggaran rumah tangga. Bayangkan seorang ayah dalam keluarga bisa membakar percuma Rp360.000 sebulan (asumsi konsumsi rokok sebungkus sehari, harga Rp12.000), atau minimal Rp4.320.000 setahun! Bagaimana bila rokoknya berharga Rp15 ribu atau Rp20 ribu..

Bila konsumsinya lebih sebungkus, dan atau harga rokoknya lebih mahal, atau lebih satu orang yang merokok dalam satu keluarga, maka bisa dihitung pemborosan pundi-pundi rumah tangga setiap bulannya. Rata-rata belanja rokok ini bisa mencapi Rp500 ribu, setengah juta rupiah per orang setiap bulan, atau Rp6 juta setahun! Angka yang tidak sedikit dibandingkan dengan kenyataan pendapatan per kapita rakyat Indonesia yang masih berkisar $4000 (Rp48 juta). Bayangkan, setidaknya 12,5% penghasilan hanya dibakar habis dalam kepulan asap rokok! Bagi puluhan juta orang Indonesia yang tak pernah memiliki penghasilan per kapita jauh di bawah Rp48 juta, beban biaya rokok pastilah sangat mencekik.

Faktanya rokok telah menduduki posisi demikian penting dalam keluarga Indonesia. Dan ini merupakan hal yang serius mengingat ada sekitar 67% pria dewasa Indonesia merupakan perokok (Global Adult Tobacco Survey, 2011), terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Perokok Indonesia diperkirakan menghabiskan setidaknya Rp120 triliun per tahun untuk belanja rokok (Thabrany, 2008). Angka yang sangat besar bagi sebuah negara yang masih sarat aneka permasalahan sosial.

Rilis data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah sekitar 10,96% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 27.730.000 orang (2009: 32.530.000 orang). Namun menurut data Bank Dunia, ada tambahan setidaknya 68 juta lagi orang Indonesia yang statusnya hanya sedikit di atas batas garis miskin, alias rentan jatuh miskin. Artinya, guncangan ekonomi sedikit saja seperti termasuk kenaikan biaya hidup, sakit, PHK, ataupun bencana alam, seketika akan menjadikan mereka miskin.

Bagi setidaknya lebih 95 juta orang Indonesia ini, belanja Rp500 ribu untuk rokok, jelas sangat memberatkan ekonominya. Bukankah Rp500 ribu itu setara dengan 42 kg beras, dan bisa dimakan oleh satu keluarga lebih sebulan? Bagi banyak keluarga, Rp500 ribu sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk berusaha dan meningkatkan ekonomi keluarga, ditabung atau diinvestasikan.

Kenyataannya, dari tahun ke tahun, di kalangan penduduk miskin, rokok merupakan barang kedua yang dibeli setelah beras! Dengan kata lain, rokok menjadi penyebab orang miskin makin miskin.

Langkah-Langkah Mengurangi Perokok

Di sisi lain pemerintah tidak bisa serta merta menutup pabrik rokok dan melarang penanaman tembakau. Sektor perkebunan tembakau dan cengkeh serta pabrik rokok merupakan lapangan kerja bagi jutaan orang dan keluarganya. Yang bisa dilakukan saat ini adalah pembatasan-pembatasan agar rokok tidak terlalu “disukai” masyarakat, antara lain dengan aturan peringatan dan gambar di kemasan rokok, pembatasan penayangan iklan rokok hanya di jam-jam tertentu, peningkatan edukasi tentang bahaya merokok, serta memberlakukan larangan merokok di tempat-tempat tertentu.

Selain itu, rokok tidak boleh tersedia dalam harga murah sehingga mudah dibeli, termasuk oleh remaja dan anak-anak. Rokok harus mahal, supaya pada akhirnya orang akan mengurangi konsumsinya, bahkan berhenti membeli rokok karena pertimbangan ekonomi. Itulah sebabnya pemerintah menerapkan cukai yang tinggi agar rokok tidak tersedia dengan harga murah di pasaran. Maka harus dipahami bahwa cukai adalah alat kontrol, bukan sarana mencari pemasukan negara (walaupun pemerintah juga memasang target pendapatan cukai).

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan cukai untuk mengontrol jumlah perokok. Upaya menekan masyarakat perokok dengan kebijakan cukai yang tinggi juga diberlakukan oleh pemerintah Korea. Maklum sekitar 44% pria dewasa Korea merupakan perokok dan dianggap menjadi masalah serius bagi ekonomi negara dan kesehatan warganya. Mulai 1 Januari 2015 ini harga rokok di Korea naik sekitar 80%, dari 2500 won (Rp27.500) menjadi 4500 won (Rp49.500).

Karenanya kenaikan cukai rokok seharusnya disambut gembira oleh rumah tangga Indonesia, sambil ikut berusaha juga mengontrol perokok dalam keluarga masing-masing. Alangkah elok, bila secara sadar, perlahan-lahan para perokok mengalihkan anggaran rokok ke belanja rumah tangga yang lebih produktif, seperti makanan sehat, pendidikan, atau ditabung. “Andaikata (konsumsi) rokok dikurangi, maka bisa berkurang juga angka kemiskinannya,” simpul Ketua BPS, Suryamin dalam jumpa pers di Jakarta (02/01).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun