Jogja hari ini murung, matahari bersembunyi di balik awan kelabu. Aku melangkah menuju warung kopi dekat kampus, tempat aroma khas kopi bercampur dengan riuh cangkir yang beradu dan obrolan hangat. Tak menemukan sudut kosong, aku memutuskan bergabung dengan para bapak ojol yang tengah asyik bertukar cerita.
Mereka dengan antusias bergantian melontarkan kisah suka duka dari jalanan. Ada yang bicara tentang orderan fiktif, ada juga yang bercanda soal penumpang cantik yang biasa mereka temui. Namun, di tengah tawa dan guyonan itu, suasana mendadak berubah. Salah seorang bapak, Pak Damar, bertanya, “Apakah kita hidup untuk hari ini, ataukah kita hidup untuk menunggu hari esok?”
Pertanyaan itu sederhana, tetapi menghentak. Warung kopi mendadak lebih hening. Seakan semua pengunjung termasuk aku, terpaku pada pertanyaan tersebut.
Pak Damar, yang duduk di sudut kiri kursi kayu itu, terlihat sederhana. Jaket ojol hijau yang ia pakai sudah memudar warnanya, serta sepatu yang mulai lusuh menunjukkan perjalanan hidupnya yang penuh kerja keras setiap hari. Ia adalah salah satu dari sekian banyaknya orang, yang menurutku seringkali terlupakan di balik kesibukan kota. Bahkan aku yakin, sultan pun tidak pernah melihat batang hidungnya. Namun, pertanyaan yang ia lontarkan sore itu membuka dimensi baru tentang bagaimana ia memandang hidup.
“Aku kadang bingung,” lanjut Pak Damar sambil menyeruput kopinya. “Kalau kita cuma mikirin hari ini, kita bisa lupa persiapan untuk besok. Tapi kalau kita terlalu fokus pada hari esok, kita lupa nikmati apa yang kita punya sekarang.”Aku tertegun. Pak Damar, yang kesehariannya diisi dengan mengantar penumpang dari satu tempat ke tempat lain, ternyata menyimpan perenungan yang begitu mendalam tentang kehidupan.
Dari cerita Pak Damar dan sejawatnya, aku mendengar betapa menantangnya kehidupan sebagai pengemudi ojol. Ada yang kehilangan pekerjaan sebelumnya karena pandemi, ada yang menjadi tulang punggung keluarga, dan ada yang mengandalkan penghasilan harian untuk mencukupi kebutuhan.
Pak Damar sendiri pernah mengalami masa-masa sulit. “Dulu aku karyawan pabrik. Tapi karena pandemi aku kena PHK. Ojol jadi penyelamat aku,” katanya. Namun, ia juga mengaku pekerjaan ini tidak mudah. “Kadang sehari cuma dapat beberapa orderan. Tapi ya sudah, yang penting masih bisa bekerja.”
Baginya, hidup adalah soal bagaimana bertahan. Namun, ia tidak ingin hanya “bertahan hidup.” Ia ingin hidup dengan penuh makna, meski sederhana.
Pertanyaan Pak Damar membuatku bermenung sepanjang hari itu. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, kita sering kali lupa untuk merenung tentang makna kehidupan ini. Apakah kita benar-benar hidup untuk menikmati hari ini? Atau kita terlalu sibuk dengan ambisi masa depan sehingga lupa untuk bersyukur?
Menyangkut hari ini dan hari esok, tentu tidak hanya menyangkut orientasi waktu tetapi juga bagaimana hidup itu harus dijalani. Beberapa dari kita, bahkan aku sendiri, kerap berada di antara posisi pertanyaan Pak Damar itu. Kerapkali aku memikirkan hari esok dengan terlalu berlebihan/overthinking sedangkan aku hidup hari ini, detik ini. Oleh karena itu, dari pertanyaan di atas agaknya kita perlu belajar pertama-tama untuk mengatur hidup sesuai ritmenya. Aku hidup saat ini, maka pikirkanlah hari ini; atau berikan fokus yang penuh pada hari ini. Entah itu fokus pada pekerjaan, olahraga, studi, dan lain-lainya.