Mohon tunggu...
Adelstein
Adelstein Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Kebebasan sejati bukanlah melarikan diri dari aturan, tetapi kemampuan untuk memilih aturan yang kita ikuti.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ojol dan Pertanyaan Eksistensial

20 November 2024   12:07 Diperbarui: 21 November 2024   17:40 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, sepulang kuliah, saya duduk di warung kopi yang biasa saya datangi. Kebetulan, saat itu warung kopi sedang ramai, jadi saya pun bergabung dengan beberapa bapak Ojol yang tengah berbagi cerita tentang lika-liku hidup mereka. Saya ikut terlibat dalam percakapan mereka, hingga saya terkejut ketika salah satu dari mereka bertanya: "Apakah kita hidup untuk hari ini, ataukah kita hidup untuk menunggu hari esok?". Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi juga sangat menarik untuk dibahas. Ini bukan sekadar pertanyaan basa-basi, melainkan sebuah pertanyaan yang menyangkut eksistensi hidup manusia.

Untuk membahas pertanyaan tersebut, saya teringat akan dua pepatah kuno dalam Bahasa Latin, yaitu "Hic et Nunc" dan "Tempora Mutantur Et Nos Mutamur In Illid". "Hic et Nunc" yang berarti "Di sini dan saat ini" sepertinya memberikan sedikit pencerahan terhadap pertanyaan di atas. Kita seharusnya hidup di masa kini, di saat ini. Kita berada dalam roda waktu yang terus berputar, yang memaksa kita untuk terus bergerak dalam perjalanan tersebut. Begitu pula dengan pepatah kedua, "Tempora Mutantur Et Nos Mutamur In Illid," yang mengingatkan kita bahwa waktu terus berubah dan kita pun ikut berubah bersama waktu itu.

Menyangkut hari ini dan hari esok, tentu tidak hanya menyangkut orientasi waktu tetapi juga bagaimana hidup itu harus dijalani. Beberapa dari kita, bahkan saya sendiri, kerap berada di antara posisi pertanyaan di atas. Kerapkali saya memikirkan hari esok dengan terlalu berlebihan/overthinking sedangkan saya hidup hari ini, detik ini. Oleh karena itu, dari pertanyaan di atas kita perlu belajar pertama-tama untuk mengatur hidup sesuai ritmenya. Saya hidup saat ini, maka pikirkanlah hari ini; atau berikan fokus yang penuh pada hari ini. Entah itu fokus pada pekerjaan, olahraga, studi, dll... Namun yang seringkali terjadi justru bertentangan dari semua itu, kebanyakan dari kita hidup saat ini tetapi orientasinya fokus penuh pada masa depan. Memang benar bahwa kita juga harus mempertimbangkan atau mempersiapkan diri untuk masa depan yang akan datang. Namun tidak berarti bahwa hari ini, detik ini harus diisi dengan pikiran yang berorientasi penuh pada masa depan. Mengapa demikian? Sebab hal itu bisa membawa kita pada salah satu kemungkinan buruk yaitu menjadi pribadi yang cemas atau pesimis. Cemas akan apa yang belum terjadi, atau apa yang belum datang sehingga apa yang harusnya anda nikmati atau syukuri hari ini malah menjadi terabaikan.Pada akhirnya, hidup adalah keseimbangan antara keduanya, menyadari pentingnya momen saat ini sembari merencanakan dan berharap untuk hari esok. Mungkin inti dari pertanyaan itu adalah untuk mengingatkan kita agar tidak terperangkap hanya dalam impian masa depan, tetapi juga untuk menemukan kebahagiaan dan makna di dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Maka dari itu, hiduplah untuk hari ini sembari mempersiapkan diri menunggu hari esok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun