Mohon tunggu...
Adelstein
Adelstein Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Kebebasan sejati bukanlah melarikan diri dari aturan, tetapi kemampuan untuk memilih aturan yang kita ikuti.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Warna Daun: Sebuah Metafora Untuk Memahami Perbedaan

17 Oktober 2024   09:04 Diperbarui: 17 Oktober 2024   09:24 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daun itu salah satu anasir yang menurut saya menyimpan begitu banyak makna. Daun kebanyakan berwarna hijau, sehingga muncul paradigma bahwa daun itu selalu dan seharusnya berwarna hijau. Hal ini pun mempengaruhi sudut pandang saya terhadap setiap daun, hal ini menjadi nyata ketika saya melihat daun yang tidak berwarna hijau. Terkadang ada perasaan  aneh ketika melihat daun yang memiliki warna berbeda. Saya seringkali menganggap daun yang tidak hijau itu sebagai daun yang beracun, atau berpikir bahwa daun tersebut tidak mengandung klorofil. Persepsi ini mencerminkan bagaimana saya telah terbiasa mengaitkan warna hijau dengan semua daun. Namun bagaimanapun juga, perbedaan warna tidak akan menghilangkan entitasnya sebagai daun dari sebuah tumbuhan.

Hal ini serupa juga dengan yang kita alami dalam kehidupan ini. Masing-masing dari kita tentunya memiliki standar mengenai apa yang baik terhadap seseorang atau sesuatu. Sama dengan daun tadi, saya memberi gambaran bahwa daun itu selalu hijau, tetapi kan nyatanya tidak demikian. Kita kerapkali menjumpai orang yang dalam penilaian atau pandangan kita kurang baik, tetapi kita perlu bertanya bahwa apakah karena kriteria atau persepsi yang kita buat maka orang itu menjadi tidak baik? Untuk menjawab hal itu, kita mesti sadar bahwa setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan nilai-nilai yang berbeda. Apa yang kita anggap buruk mungkin saja merupakan cara mereka beradaptasi atau bereaksi terhadap situasi tertentu. Dengan mengakui bahwa pandangan kita dipengaruhi oleh sudut pandang pribadi, kita bisa lebih membuka diri untuk memahami orang lain.

 Problema lain yang muncul ialah kita selalu mengharapkan orang lain untuk menjadi seperti apa yang kita inginkan atau kehendaki. Ini adalah sesuatu yang mustahil, dan sama saja bahwa kita seolah-olah mengharapkan ikan memanjat pohon dan monyet hidup di dalam air. Kita harus bisa menerima perbedaan, sama itu monoton tetapi berbeda itu dinamis. Kita tentu tidak bisa membuat segala hal menjadi sama sesuai dengan keinginan kita masing-masing.

Pada akhirnya, kita tidak bisa memaksakan pandangan atau harapan kita kepada orang lain. Namun, kita bisa belajar untuk beradaptasi dan menemukan cara untuk saling menghargai. Dengan begitu, kita bisa menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dan berkontribusi pada pertumbuhan masing-masing individu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun