Ada pengalaman hari ini yang hendak kubagi. Pengalaman dua orang awam yang berusaha untuk melakoni perjalanan Rawamangun – Cisarua dengan naik angkutan umum. Saat naik mobil pribadi adalah hal yang biasa, bagiku perjalanan hari ini adalah LUAR BIASA!
Aku dan seorang temanku hari ini nekat untuk ke Cisarua. Tujuan utamanya adalah makan siang di restoran berlogo sapi gemuk dengan pemandangan pegunungan. Karena diantara kami berdua tidak ada yang punya kemampuan menyetir, naik angkot adalah pilihan terakhir.
Aku sempat membaca beberapa artikel, salah satunya adalah artikel dari seorang Kompasianer, Linda Patimasang. Di artikel tersebut disarankan untuk naik bus dari Kampung Rambutan, untuk selanjutnya menyambung naik bus ke arah Cianjur dan turun di Cisarua. “Sepertinya mudah”, pikirku.
Tapi kenyataannyaaaa, tidak semudah itu. Huhuhu. Apalagi hari ini bertepatan dengan libur Natal. Situasinya benar-benar di luar prediksi. Berulang kali kami putus asa. Tapi Alhamdulillah, Tuhan selalu kasih jalan.
Baiklah, mari kita mulai...
Berangkat dari rumah di Rawamangun jam 07.20. Aku dan temanku janjian bertemu di Halte TransJakarta Bea Cukai Ahmad Yani. Temanku datang sekitar pukul 07.45. Kami langsung meluncur ke Halte TransJakarta UKI. Kemudian transit naik TJ yang ke arah Terminal Kampung Rambutan. Sempat waswas akan macet. Eh, ternyata jalanan sedang bersahabat. Daerah Kramat Jati yang biasanya tersendat, pagi tadi lancaaaar.
Sayangnya bus TJ hanya sampai Halte TransJakarta Pasar Rebo, katanya sih busnya mau isi BBG dulu. Fiuuh! Akhirnya kami keluar dari halte, dan berniat mau jalan kaki ke Kampung Rambutan. Setelah sempat tanya-tanya ke orang, eh ternyata lumayan jauh kalau jalan kaki! Hahaha. Untuuung belum jalan. Oke, kami pun menyambung lagi naik angkot.
Sampai di Terminal Kampung Rambutan, bingung! Kami masuk ke area Bus Antar Kota. Bayar seribu rupiah dulu buat retribusi peron. Dari pintu masuk, aku sudah dihampiri oleh abang-abang yang menanyakan tujuanku hendak kemana. Kujawab, “Cianjur!”
Aku pun dioper ke abang-abang yang satunya lagi. “Neng, mau kemana neng?”
Hadeeeuh, kesal aku dibuatnya karena dioper-oper begitu. Pandai-pandai menahan emosilah kalau lagi di terminal. Jangan pasang muka sombong, tapi juga jangan pasang muka pasrah atau ketakutan. Santai tapi tetap tegas.
Aku pun dioper lagi ke abang kondektur bus jurusan Bandung – Kp. Rambutan yang lewat Cianjur (aku lupa nama busnya). Hampir saja naik bus itu. Setelah aku tanya, “Lewat Cisarua gak?”
Si abang menjawab, “ Wah, gak neng! Macet. Jalanan ditutup”. Hm, aku pun urung naik bus itu. Cari yang lain saja.
Lalu disebelahnya ada bus Doa Ibu jurusan Kp. Rambutan – Tasikmalaya. Seingatku bisa juga naik bus itu. Aku tanya, “Bang, Cisarua gak?”
Dan abang pun menjawab, “Gak neng. Macet itu mah. Ada SBY! Ini busnya lewat Jonggol.”
“Lah, si abang tau darimana ada SBY? Padahal sekarang dia lagi ada di Kp. Rambutan”, pikirku dalam hati.
“Ya, trus gimana dong Bang?”. Wajahku mulai memelas.
“Naik yang ke Sukabumi aja, Neng. Turun di Ciawi. Dari situ nyambung lagi naik angkot ke Cisarua”, lanjut si abang memberi tahu.
“Naik apa ke Sukabumi?”
“Tuh Neng, naik Langgeng Jaya”, seraya si abang menunjuk bus warna coklat yang kondisi fisiknya membuat aku putus asa.
“Yauda deh, Bang. Makasih”. Aku tertawa sendiri. Dari sekian banyak bus di situ, masa iya harus naik bus yang seperti itu (baca : mengenaskan).
Aku tidak langsung menyerah. Aku menyeberang peron untuk mencari bus Marita yang konon kabarnya lebih nyaman karena ber-AC. Dengan mudah aku menemukannya, tapi sayang seribu sayang, supir bus Marita pun enggan lewat Cisarua.
“Neng, naik yang ke Ciawi aja. Tuh ada bus Langgeng Jaya di sebelah sana”. Abang satu ini pun menyarankan hal yang sama.
“Gak ada yang lain, Bang?”. Aku berharap mendengar jawaban, “Ada”. Tapi sayangnya si abang menggeleng. Baiklaaah, tampaknya kami sudah berjodoh dengan bus Langgeng Jaya itu. Kami pun naik bus itu dengan 1 harapan, cepatlah sampai di Cisaruaaa!!
Untuk pertama kalinya naik bus seperti ini. Campur aduk rasanya. Mau mengeluh juga percuma. Ini kan pilihan yang memang yang sudah kami ambil. Jadi, nikmatilah. Kami ngemil dan mengobrol saja sepanjang jalan.
Beruntung kami naik dari Terminal Kp. Rambutan, jadi masih kebagian tempat duduk. Coba kalau misalnya kami naik dari Pasar Rebo, sudah pasti kami harus berdiri berdesakan sampai Ciawi. Bisa dibilang kondisi tersebut kurang nyaman, apalagi ditambah dengan preman berkedok pengamen yang berkeliaran di bus. Aku baru tahu kalau ada pengamen yang berani bicara seperti ini ketika hendak meminta uang pada penumpang.
“Tenang aja Mbak, ada kembaliannya kok. Gak usah pakai alasan gak ada uang receh!”, ujar si pengamen bernada mengancam dengan terus menodongkan kantung uangnya di hadapan wajah penumpang. Sungguh perilaku yang mengerikan. Lama-lama besok mereka bisa berani menodongkan pisau nih. Ckckck.
Oya, kami membayar ongkos sebesar Rp. 12.000 untuk sampai ke Ciawi. Kalau sampai Sukabumi, penumpang dikenakan ongkos Rp. 20.000. Perjalanan sepanjang tol Jagorawi ramai lancar. Tidak semacet yang kubayangkan.
Sekitar jam 11 kami keluar Gerbang Tol Ciawi. Aduh, mulai bingung lagi. Mobil-mobil pribadi mengambil lajur kiri untuk yang ke arah Taman Safari-Puncak. Bus kami langsung ambil kanan ke arah Sukabumi dan tidak berhenti. “Gawat nih kalau sampe terbawa ke Sukabumi”. Huaa, kepanikan sempat terjadi.
Eh, ternyataaa busnya berhenti juga kok di Ciawi. Di per-empat-an atau per-lima-an ya? Entahlah, aku tidak memperhatikan. “Yes, sudah sampai Ciawi. Selangkah lagi, tinggal naik angkot”.
Banyak angkot-angkot warna biru dan hijau di sekitar situ. Ada yang tulisan Cisarua, ada yang tulisan Cibedug juga. Kami pun menghampiri yang judulnya Cisarua. Tapi sayangnya sudah 3 angkot yang kami hampiri, semuanya menjawab mereka ke Cipanas, bukan ke Cisarua. Cobaan apa lagi ini? :(
Akhirnyaa, ada juga angkot yang ke Cisarua. Angkotnya penuh, jalannya pun mirip off road. Salip kiri teruuus. Hihi, pegangan erat-erat deh kalo gak pingin terjungkal.
Menjelang jam 12 siang, sampai jugaaa di restoran yang dituju. Cimory Mountain View. Horeee!! Makan, minum, melepas lelah, tapi sekaligus senang. Tidak menyangka kalau akhirnya bisa sampai juga di sana setelah perjalanan yang begitu penuh perjuangan dan nyaris putus asa.
[caption id="attachment_311240" align="aligncenter" width="589" caption="Pemandangan pegunungan dari restoran (dok. pribadi)"][/caption]
[caption id="attachment_311241" align="aligncenter" width="339" caption="Makan siang hari ini. Nyam! (dok. pribadi)"]
Setelah kenyang, jam 14.15 kami memutuskan untuk pulang, dan ternyata hujan. Oh Tuhan, berilah hamba kesabaran. Kami menunggu dengan sabar sekitar 20 menit di warung kopi seberang restoran. Ada pula beberapa orang yang menumpang berteduh di situ. Angkot yang ke arah Ciawi tidak kunjung lewat. Kenapa lagi ini? Setengah jam sebelumnya aku dengar pengumuman bahwa yang arah ke Puncak yang sedang ditutup.
Aku tidak mau lebih lama lagi berdiam diri. Kami pun segera menghampiri tukang parkir Cimory, dan dari situlah kami tahu bahwa sekarang arah Ciawi yang sedang ditutup. Sekitar 1 jam lagi baru akan dibuka, katanya. Duh! Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki ke bawah. Mungkin saja ada beberapa toko yang bisa kami hampiri untuk mengisi waktu. Kami berjalan hingga sampai di Taman Wisata Matahari. Aku tertawa melihat sudah banyak bus, mobil, dan angkot yang sudah siap ambil ancang-ancang untuk meluncur begitu arah Ciawi dibuka. Benar saja, 3 menit kemudian ada mobil polisi dari arah Ciawi memberi pengumuman kalo sekarang arah ke Ciawi sudah dibuka kembali.
Melihat itu kami langsung lari menyeberang dan menghentikan angkot yang hendak meluncur.
“Bang, Ciawi kan?”
Begitu abangnya mengangguk, langsung aku menyerbu masuk ke dalam angkot. Hoho. Lega sudaah. Setidaknya kami tidak lagi berdiri termangu di warung kopi sambil menanti hujan reda dan angkot yang tidak kunjung datang.
Perjalanan ke Ciawi tentunya lancar jaya karena edisi satu arah. Jauh berbeda dengan situasi saat berangkat. Tapi akan muncul pertanyaan selanjutnya, “Dari Ciawi, naik apa lagi?”. Nah lho!
Saat berangkat tadi kami sempat melihat bus APTB jurusan Ciawi - Tanjung Priuk di dekat gerban tol Ciawi. Kami pun berencana untuk naik itu untuk pulang, tapi masih bingung harus naik darimana. Tapi tampaknya, kali ini kami diberi kemudahan. Begitu angkot sampai di Ciawi, kami melihat ada bus APTB yang sedang menaikkan penumpang di dekat gerbang tol Ciawi.
Kami langsung berlari di tengah gerimis. Jangan sampai ditinggal! Dan akhirnya, "Fiuh!". Kami pun menghempaskan badan di jok empuk nan nyaman. Horeee! Rasanya seperti sampai di garis finish! Dengan bus APTB ini, kami tinggal duduk manis hingga sampai lagi di Halte TransJakarta Bea Cukai Ahmad Yani dengan hanya membayar Rp. 14.000.
"Hahaha. Tau gitu tadi pagi berangkat naik bus ini deh!"
Aku dan temanku tertawa bahagia karena akhirnya kami bisa melewati hari yang penuh perjuangan dan penuh pengalaman ini. Sungguh pengalaman yang mungkin tidak akan pernah kami alami kalau saja kami bisa menyetir kendaraan pribadi. Sesungguhnya naik kendaraan umum adalah pilihan yang akan membuat kita menjadi lebih berwawasan dan memaksa diri kita untuk tahu jalan.
Yuk, berpetualang lagi! Dan pastinya, jangan segan naik angkot. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H