Mohon tunggu...
Adellya Zahra Chairani
Adellya Zahra Chairani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

🙏

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Papua: Transformasi Konflik?

24 Februari 2019   18:10 Diperbarui: 24 Februari 2019   18:15 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang sudah diketahui akibat dari adanya Hubungan Internasional(hubungan antar negara) telah banyak menciptakan lahirnya oranisasi-organisasi internasional, salah satunya adalah PBB.

PBB sendiri adalah singkatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mana merupakan salah satu organisai internasional terbesar di dunia. PBB sendiri berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945, dan sebagai organisasi seluruh negara-negara di dunia, diharapkan mampu melakukan perannya yaitu untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.

Namun, dengan demikian tidak membuat PBB menjadi pihak yang serta-merta dapat menyelesaikan suatu konflik yang terjadi. Seperti contohnya konflik Papua yang ingin melepaskan diri dari Indonesia, perbedaan pendapat terkait status Papua ini lalu dibawa oleh pihak perwakilan Indonesia ke ranah internasional dalam perundingan di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. Setelah melewati perdebatan yang cukup panjang dan rumit, akhirnya pada tahun 1962, sebagai jalan keluar PBB mengambil alih kekuasaan sementara atas Papua melalui New York Agreement, yang kemudian diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Tetapi permasalahan tidak selesai sampai disitu karena pada tahun 1965 terbentuklah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang merupakan organisasi perlawanan terhadap pemerintah Indonesia, mereka bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan Indonesia terhadap Papua dan menjadikan Papua sebagai negara merdeka. OPM kemudian banyak melakukan protes-protes serta upaya untuk merdeka dengan cara kekerasan dimana kelompok separatis ini masih menggunakan senjata tradisional seperti tombak, busur dan panah.

Seiring berjalannya waktu perhatian internasional terhadap isu-isu kemanusiaan pun meningkat, dilakukan konferensi di Papua yang dipelopori oleh aktivis-aktivis kemanusiaan melalui Peace Conference in west Papua untuk memperbincangkan terkait permasalahan Papua.

Mulai dari saat itu, OPM yang awalnya memperjuangkan kemerdekaan Papua dengan cara yang berbasis kekerasan, berubah menjadi nonkekerasan yang memanfaatkan dialog internasional dan media informasi. Walaupun tidak menutup kemungkinan kalau penggunaan  senjata tetap digunakan sebagai bentuk perlindungan diri.

OPM pun mulai melibatkan diri dalam sidang maupun konferensi internasional, seperti Forum Negara Pasifik, untuk mencari dukungan global atas perjuangan mereka. Perubahan cara kelompok Separatis Papua dilatarbelakangi oleh adanya perubahan dalam dinamika konflik internasional yang diiringi dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi, kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ingin memperjuangkan hak nya untuk memperoleh perhatian serta dukungan dari masyarakat internasioanl. Kondisi inilah yang terjadi dalam permasalahan separatis di Papua, yang pada awalmya selalu menggunakan kekerasan dan senjata, sekarang lebih banyak menggunakan media dan informasi dalam membangun persepsi publik.

Jadi bisa dilihat bahwa permasalahan Papua adalah "Transformasi Konflik" dimana tidak hanya menjabarkan mengenai spesifikasi dari sebuah konflik berdasarkan tempat konflik itu muncul, tetapi juga transformasi budaya dan execise of power (Francis, 2002). Menurut Diana Francis, pengaruh terbesar dalam teori transformasi konflik ialah 'needs theory' , yaitu ketika tidak terpenuhinya kebutuhan adalah hal yang sering menjadi penyebab dari konflik. Keinginan untuk dapat memenuhi inilah yang kemudian menimbulkan perselisihan yang dapat menimbulkan konflik kekerasan. Walaupun begitu, biasanya yang banyak terjadi adalah tindakan nonkekerasan sebagai bentuk perlawanan terhadap sebuah ketidakadilan yang terjadi, yang mana hal tersebut menjadi penyebab dari konflik. Kondisi ini kemudian membentuk suatu dinamika baru dalam konflik dimana konflik tidak lagi ditandai dari perlawanan secara kekerasan, tetapi juga perlawanan tanpa kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun