Mohon tunggu...
Adellia zahra
Adellia zahra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Pamulang

Saya senang membaca karya fiksi ilmiah dan buku teori" peradaban kuno

Selanjutnya

Tutup

Analisis

All Quiet on the Western Front: Kehidupan dan Kekejaman dalam Perang Parit

9 Januari 2025   13:43 Diperbarui: 9 Januari 2025   13:43 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekejaman dan Ketidakberdayaan

Dalam perang, kemanusiaan sering kali dilemahkan oleh kekejaman dan ketidakberdayaan yang tampaknya tak terhindarkan. Perang mengubah prajurit menjadi mesin pembunuh yang terperangkap dalam perangkap ketakutan dan kebingungan. Paul dan rekan-rekannya tidak lagi melihat musuh sebagai manusia, melainkan sebagai ancaman yang harus dihancurkan untuk bertahan hidup. Namun, di sisi lain, mereka juga merasa hampa karena mengetahui bahwa mereka sendiri juga dianggap sebagai musuh oleh pihak lawan.

Ketika Paul mengunjungi rumahnya, ia merasa terasing dari dunia sipil yang dulu dikenalnya. Keluarganya dan orang-orang yang tidak terlibat dalam perang tidak dapat memahami pengalamannya, dan baginya, ini semakin memperburuk perasaan terisolasi. Kemanusiaan, dalam arti sesungguhnya, mulai terasa jauh dan asing bagi Paul, seiring dengan semakin dalamnya keterlibatan dia dalam perang.

Perubahan dalam Perspektif Manusia

Salah satu aspek yang menunjukkan penggambaran kemanusiaan dalam All Quiet on the Western Front adalah bagaimana perang mengubah cara pandang Paul terhadap kehidupan dan kematian. Pada awalnya, dia adalah seorang pemuda yang penuh semangat, idealis, dan memiliki pandangan positif terhadap masa depannya. Namun, perang merubahnya menjadi seorang yang acuh tak acuh, cemas, dan terobsesi dengan bertahan hidup. Remarque menunjukkan bagaimana ketegangan, penderitaan, dan kehilangan mengubah individu menjadi manusia yang keras, yang mulai meragukan bahkan makna hidup itu sendiri.

Kehilangan teman-temannya di medan perang semakin memperburuk perasaan Paul tentang kemanusiaan. Kematian di medan perang bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis, menghancurkan kepercayaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya dianggap penting. Bahkan ketika dia sendiri hampir mati, Paul merasa terputus dari dunia dan tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Secara keseluruhan, trench warfare dalam novel ini tidak hanya menggambarkan kekejaman perang secara fisik, tetapi juga dampaknya terhadap jiwa manusia yang terlibat dalamnya. Remarque menyampaikan pesan kuat tentang betapa sia-sianya perang dan betapa menghancurkannya itu bagi individu yang terlibat langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun