Mohon tunggu...
Adella Pratiwi
Adella Pratiwi Mohon Tunggu... -

I Like Writing, I can writing and I will be Writer :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Runtuhnya Tawa Kita

14 Juni 2013   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:01 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata ku disaat duduk di batu nisan mu,
Teringat disaat kau menjelam menjadi singa berbulu emas,,
Menangkap ku, memelukku dan memengang erat tawaku,
Hari-hari selalu bagai pelangi yang disirami salju oleh sang raja
Takan pernah ku lepas walau senja telah memanggil sayu bola mata mu,
Kau selalu tawarkan ku tuk selalu memetik bintang
Menjadi ratu, dan dapat menelusuri langit dengan khiasana mutiaramu,
Tapi,, saat runtuhnya tawa kita, ?
Kau beberkan batu nisan mu kepenjuru dunia
Dan aku disini, terpaku dan tersayu sempat terhanyut dalam busurmu
Dan saat nya pula tawa ku hilang,
Runtuhnya tawa kita untuk bersama
Walaupun tahun nisan telah berlalu
Aku tetap menemui mu di kebun-kebun yang indah itu
Memandangi selalu mengagumi intelijensi mu
Dan mendenarkan duka-duka ku yang bisu
Setiap kunjuang memberi ku makna baru dan wawasan yang baru
Sehingga kau menjadi sebuah buku yang halaman-halamannya dapat ku fahami
Dan pujian-pujiannya dapat ku nyanyikan
Namun, tak pernah pula aku baca hingga tuntas
Disaat runtuhnya tawa ku
Adalah sebuah kebenaran sekaligus rahasia
Yang dapat memahami hanyalah kasih dan dapat ku sentuh oleh kebijakan
Ketika ku berupaya kasih dan dapat disentuh dengan kebijakan
Ketika ku berupaya melukiskan mu kembali
Kau bagai uap menghilang di seluk bumi
Sebagai manakah ku harus melukismu ?
Aku bagai orang yang belum pernah mengenalimu. ?
Atau dapat kah seorang yang matii mengingatkan nyanyian seekor burung bul-bul ?
Dan semerbak harumnya setangkai mawar dan nyanyian sungai ?
dapatkan seorang tawanan yang di bebani oleh belenggu menuntaskannya ?

Yang sengaja di ikuti oleh hembusan angin fajar ?
Bukankan keheningan itu lebih menyakitkan dari pada maut ?
Kata-kata yang keluar dari bibirnya
Seperti tetesan embun jatuh dari daun-daun dan bunga ketika teriup angin,
Runtuhnya lamunanku dalam tawa kita
Disaat ku mengetahui keterbatasanku tuk dapat memeluk mu,
Aku hanya bisa melihat gelak di sebrang langit sana
Dan hanya bisa bermimpi disaat aku mengingat sepucuk surat suara mu,
Dan disaat aku menyadari seberapa tuanya masa ku mengenalmu,
Aku sendiri.
Dan hanya bisa menyimpan sedikit tawa yang ada di balik pohon cemara.
Jambi. 4 April 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun