Mohon tunggu...
Adella Febry Widiana
Adella Febry Widiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

VOLI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ketahui tentang FOMO dan Dampaknya pada Kesehatan Mental, Mengapa Kita Harus Peduli?

21 Desember 2024   06:06 Diperbarui: 21 Desember 2024   06:04 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Jakarta, 21 Desember 2024 -- Di era digital yang semakin terhubung, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi isu yang kian mencuat. FOMO, yang didefinisikan sebagai rasa takut ketinggalan informasi atau pengalaman yang dirasakan orang lain, kini diakui sebagai salah satu faktor utama yang memengaruhi kesehatan mental, khususnya di kalangan generasi muda.

Menurut survei dari Global Web Index (2023), sekitar 56% pengguna media sosial berusia 16-24 tahun mengaku sering merasa cemas atau stres karena khawatir tidak mengikuti tren terbaru atau tidak menghadiri acara tertentu. Fenomena ini semakin parah dengan meningkatnya penggunaan platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, yang menampilkan kehidupan ideal dan membentuk ekspektasi sosial yang tidak realistis.

Dampak Psikologis FOMO

Studi dari Journal of Social and Clinical Psychology (2021) menunjukkan bahwa individu dengan tingkat FOMO yang tinggi cenderung memiliki:

  1. Kecemasan Sosial: Kekhawatiran berlebih tentang status sosial dan penerimaan oleh lingkungan.
  2. Depresi: Rasa rendah diri akibat membandingkan diri dengan orang lain secara terus-menerus.
  3. Gangguan Tidur: Penggunaan media sosial secara berlebihan, terutama di malam hari, memengaruhi pola tidur.

Penelitian lain dari American Psychological Association (APA, 2022) menambahkan bahwa FOMO juga dapat menyebabkan isolasi sosial, meskipun individu tersebut tampak aktif secara daring. Kondisi ini diperburuk oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk mempertahankan keterlibatan pengguna, sehingga mereka terus merasa "harus online."

Kisah Nyata: Ketika FOMO Menjadi Tak Terkendali

Sebut saja Dinda, seorang mahasiswa di Jakarta, yang merasa harus terus mengikuti setiap tren dan aktivitas teman-temannya. "Kalau nggak ikutan, rasanya kayak aku nggak dianggap. Tapi di sisi lain, aku juga capek banget," ujarnya. Akibatnya, Dinda mengalami kelelahan mental (burnout) dan harus menjalani terapi selama enam bulan.

Bagaimana Mengatasi FOMO?

Pakar kesehatan mental dari Universitas Indonesia, Dr. Rina Maharani, merekomendasikan langkah berikut untuk mengurangi dampak FOMO:

  1. Batasi Waktu di Media Sosial: Tentukan waktu khusus untuk menggunakan media sosial, misalnya maksimal dua jam per hari.
  2. Fokus pada Kehidupan Nyata: Cari kegiatan yang menyenangkan di dunia nyata, seperti olahraga atau hobi baru.
  3. Praktikkan Self-Compassion: Belajar menerima diri sendiri apa adanya tanpa harus membandingkan dengan orang lain.
  4. Bangun Hubungan Asli: Prioritaskan interaksi langsung daripada komunikasi digital.

Peran Masyarakat dan Pemerintah

Selain upaya individu, pemerintah dan platform media sosial juga harus turut serta dalam mengurangi dampak FOMO. Misalnya, kampanye edukasi tentang kesehatan mental dan kebijakan pengaturan konten yang lebih sehat. Di sisi lain, masyarakat perlu mendukung terciptanya lingkungan yang lebih inklusif dan empati terhadap mereka yang berjuang melawan FOMO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun