Rasa miris yang dirasakan ketika melihat artikel Vice.com yang membicarakan tentang gerakan Indonesia Tanpa Pacaran atau Anti Pacaran Pacaran Club. Sebuah club yang berawal dari Facebook kini memiliki lebih dari 5000 followers, ditambah dengan viralnya meme lucu yang mendukung gerakan ini.Â
Kenapa miris? Karena ini adalah salah satu bukti bagaimana orang Indonesia menyelesaikan masalah dari batang, bukan akar. Cara pikir yang sempit dan suka menggeneralisasikan suatu ilmu budaya atau keagamaan yang harusnya memiliki nilai yang berbeda-beda.
Bisa terlihat alasan mengapa gerakan ini ada. Beberapa diantaranya adalah pengaruh media dimana gaya hidup kebaratan (dalam hal ini berpacaran) yang sangat eksplisit memperlihatkan kemesaraan, tingginya perilaku seks bebas yang berunjung HIV/AIDS atau hamil diluar nikah, pernikahan muda yang menjadi trend beberapa tahun ini dan banyak lagi. Perilaku yang mengarah keperzinahan adalah alasan utama dibentuknya Anti Pacaran Pacaran Club.Â
Pertanyaan terbesar dari gerakan ini adalah; apakah pacaran harus selalu berunjung pada perzinahaan? Jika kita mau berpikir layaknya sebagai manusia yang berpendidikan, berwawasan luas, berpikiran terbuka dan memiliki prinsip diri yang kuat, pilihan untuk berpacaran atau tidak adalah pilihan setiap individu.Â
Tidak ada seorang pun yang bisa memaksa apakah kita harus berpacaran dengan siapa, kapan dan bagaimana. Â Jika ada bukti dari pemaksaan itu, maka itu adalah bagian dari pelanggaran hak asasi manusia untuk memiliki free will. Selama pacaran itu sehat, maka tidak ada alasan untuk kita ikut campur dalam hubungan tersebut.
Lalu apa sesungguhnya makna dari pacaran itu sendiri? Dari pelajaran agama Kristen/Katolik kelas 2 SMA, didapatkan bahwa pacaran adalah awal dari suatu hubungan yang memiliki masa depan.Â
Di mana pasangan saling mengenali diri masing-masing, melengkapi satu sama lain untuk menjadi individu yang lebih baik. Tidak pernah tertulis bahwa pacaran mengharuskan kita untuk berdekat-dekatan, saling obsesi bahkan melalukan perzinahan.Â
Didalam ajaran Kristen/Katolik sendiri diingatkan bahwa perilaku maksiat adalah dosa. Namun, apakah semua yang berpendidikan Kristen/Katolik adalah yang paling benar? Tentu tidak. Itu hanya bagian dari pembentukan kepribadian, pada akhirnya setiap keputusan yang akan dilakukan adalah pilihan diri sendiri.Â
Tiap individu harus memiliki pendidikan moral, nilai dan norma, agama, dan untuk hal ini; edukasi seks, yang cukup. Dari sinilah tiap individu bisa memilih gaya hidup yang lebih sehat dalam hal ini juga; berpacaran.
Namun pembentukan kepribadian melalui pendidikan ini juga menjadi masalah dimana masih ada kurang tegas dan kuantitasnya pendidikan tersebut, terutama edukasi seks. Edukasi seks sendiri masih dianggap tabu oleh banyak orang. Padahal edukasi seks sangat dibutuhkan, karena setiap anak akan mengalami masa-masa dimana mereka akan mempertanyakan seksualitas mereka.Â
Membicarakan tentang seks menurut banyak masyarkat terutama kaum laggard adalah hal yang tidak baik, yang bisa memicu anak-anak untuk melakukan hal-hal senonoh. Cara berpikir seperti ini adalah cara pikir yang sungguh sempit dan tidak mau maju.Â