Mohon tunggu...
Adeline Sinaga
Adeline Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Studi Cina

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melawan Lupa: Upaya Taiwan Merekonsiliasi Masa Lalu White Terror

26 November 2024   20:02 Diperbarui: 26 November 2024   20:12 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Insiden 28 Februari 1947 di Taiwan. (Sumber: taiwangazette.org)

White Terror adalah salah satu periode tergelap dalam sejarah Taiwan, berlangsung dari tahun 1947 hingga 1987. Selama periode ini, ribuan orang dianggap sebagai ancaman politik oleh rezim otoriter Partai Nasional Kuomintang (KMT), kemudian ditangkap, diinterogasi, dipenjara, bahkan dieksekusi. Dampaknya tak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga dan masyarakat luas. 

Awal Mula Ketegangan: Dari Penguasaan Jepang hingga Penindasan KMT

Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Taiwan yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Jepang diserahkan kepada Republik Tiongkok (ROC). Pemerintahan Taiwan kemudian diambil alih oleh Kuomintang (KMT), partai yang memerintah di Tiongkok pada saat itu. Namun, pengelolaan KMT di Taiwan dianggap buruk oleh banyak orang, yang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. 

Ketegangan antara pemerintah dan rakyat Taiwan akhirnya memuncak pada Insiden 28 Februari 1947, di mana warga Taiwan melakukan protes besar-besaran untuk menuntut perubahan. Mereka marah atas tindakan pemerintah yang dianggap korup dan tidak adil. Sebagai respons, pemerintah menanggapi dengan tindakan kekerasan yang brutal, menewaskan ribuan orang. Peristiwa ini menjadi awal dari periode panjang penindasan politik yang dikenal dengan nama White Terror. 

Pada tahun 1949, setelah kalah dalam perang saudara melawan Partai Komunis Tiongkok, KMT memindahkan pusat pemerintahan mereka ke Taiwan. Untuk mempertahankan kekuasaan mereka, KMT memberlakukan darurat militer dan serangkaian undang-undang keras yang memberikan izin untuk menekan siapa saja yang dianggap sebagai ancaman, termasuk aktivis pro-kemerdekaan, intelektual, dan masyarakat biasa yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan pemerintah. 

Akibatnya, ribuan orang dituduh sebagai mata-mata komunis atau pendukung kemerdekaan Taiwan tanpa bukti yang jelas. Mereka ditangkap, diinterogasi, dipenjara, bahkan dieksekusi. Periode penindasan ini berlangsung lebih dari empat dekade, dari 1949 hingga 1992, dan meninggalkan dampak mendalam bagi masyarakat Taiwan. 

Insiden 28 Februari 1947 di Taiwan. (Sumber: taiwangazette.org)
Insiden 28 Februari 1947 di Taiwan. (Sumber: taiwangazette.org)
Kehidupan di Bawah Rezim White Terror di Taiwan

Selama periode ini, rakyat Taiwan hidup dalam ketakutan yang mendalam. Tuduhan tanpa bukti sering dipakai untuk menekan suara-suara yang kritis terhadap pemerintah. Mereka yang dianggap bersalah mengalami penyiksaan, sementara keluarga mereka sering kali dijauhi oleh masyarakat. Trauma yang meluas ini menciptakan budaya diam, di mana banyak orang memilih untuk menghindari pembicaraan politik demi melindungi diri dan keluarga mereka. 

Menurut data statistik Regulations for Compensation for Improper Verdicts on Sedition and Communist Espionage Cases during the Martial Law Period Foundation, hingga tahun 2014, terdapat 10.067 keluarga yang mengajukan kompensasi atas ketidakadilan yang mereka alami selama periode darurat militer. Meski begitu, jumlah korban sebenarnya diyakini jauh lebih besar, mengingat banyak keluarga yang mungkin tidak berani mengajukan klaim atau masih takut akan stigma. 

Transisi Menuju Demokrasi

Berakhirnya darurat militer pada tahun 1987 menjadi tonggak penting bagi transisi Taiwan menuju demokrasi. Langkah-langkah signifikan kemudian dilakukan untuk mengungkap kebenaran tentang White Terror dan memberikan keadilan bagi para korban. Salah satu upaya utama adalah pembentukan sistem kompensasi dan rehabilitasi bagi mereka yang dihukum secara tidak adil. Selain itu, pemerintah mendirikan Komisi Keadilan Transisional untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa tersebut. 

Taiwan juga membangun berbagai monumen dan museum untuk memastikan bahwa sejarah kelam ini tetap diingat. Salah satunya adalah White Terror Memorial Park, yang berfungsi sebagai simbol penting untuk menjaga ingatan kolektif masyarakat dan sebagai alat pendidikan bagi generasi mendatang. 

National Human Rights Museum, Taipei. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 
National Human Rights Museum, Taipei. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 
Identitas Nasional dan Rekonsiliasi 

Trauma yang ditinggalkan oleh White Terror turut memengaruhi pembentukan identitas nasional Taiwan. Pengalaman penindasan tersebut membuat masyarakat Taiwan semakin menghargai nilai-nilai demokrasi, kebebasan, dan perjuangan melawan kekuasaan otoriter. 

White Terror menjadi peringatan yang mendalam tentang bahaya kekuasaan otoriter dan dampak destruktifnya terhadap masyarakat. Namun, Taiwan menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi masa lalunya. Melalui upaya rekonsiliasi yang melibatkan rehabilitasi, kompensasi, dan memorialisasi, Taiwan berusaha untuk memperbaiki dampak sejarah kelam tersebut dan memperkuat komitmennya terhadap hak asasi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun