Di Indonesia pendidikan inklusif menganut sistem moderat, yaitu model pendidikan yang memadukan antara model inklusi parsial dan model inklusi penuh atau mainstreaming. Dengan model pendidikan inklusi moderat atau mainstreaming ini, anak berkebutuhan khusus tidak harus mengikuti kelas dan kurikulum reguler secara keseluruhan, tetapi mereka bisa berpartisipasi di kelas tertentu yang khusus disediakan untuk mereka dan disesuaikan dengan kebutuhan yang mereka perlukan dalam proses pembelajaran (Anita Woolfolk, 2009: 188). Akan tetapi model tersebut kurang relevan jika diterapkan, sebab seolah-olah terlihat lebih membedakan antara siswa yang regular dengan siswa yang non regular.
Oleh karena itu, paradigma pendidikan inklusi di Indonesia harus diubah, yaitu dengan cara mengubah model pendidikan moderat menjadi model pendidikan humanis. Karena model pendidikan yang bersifat humanis ini dapat menanamkan prinsip mengakui perbedaan kemampuan dan kontruksi sosial. Model pendidikan humanisme ini merupakan model pendidikan yang memposisikan manusia sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi satu sama lain dan menjadikannya tempat yang menyenangkan bagi siswa dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk bekal dikehidupan masyarakat. Model pendidikan humanisme ini cocok untuk diterapkan dalam kelas inklusif, karena dengan model pendidikan humanisme dapat mengajarkan kepada siswa untuk saling menerima dan menghargai berbagai latar belakang serta keberadaraan setiap individu, sehingga siswa dapat belajar ditempat yang sama tanpa ada diskriminatif.Â
Model pendidikan humanisme ini bertujuan untuk membangun tiga kekuatan dalam diri siswa secara sinergis.Â
Pertama, power to yaitu kekuatan kreatif yang membuat siswa mampu dan mau melakukan sesuatu. Kedua, power with yaitu memberikan motivasi agar siswa mampu mencapai tujuan yang diingkan. Ketiga, power with in yaitu kekuatan spiritual yang ada dalam diri siswa berguna untuk menjadikan manusia yang bermanfaat dan memiliki sikap yang baik dikehidupan masyarakat.Â
Model pendidikan humanisme dianggap berhasil diterapkan di sekolah inkusi apabila 1) siswa merasa gembira, aktif dan tidak merasa tertekan saat pembelajaran, 2) siswa mengalami perubahan pola pikir yang lebih baik serta berani menyampaikan gagasan didepan umum, 3) siswa saling menghargai pendapat yang telah dikemukakan temannya.
Berikut ini merupakan contoh penerapan model pendidikan humanisme di sekolah inklusi: Open Education yaitu memberikan kebebasan kepada siswa baik yang regular maupun ABK untuk memilih aktivitas belajar mereka sendiri, namun tetap dengan bimbingan guru.Â
Contohnya yaitu  seorang anak yang lambat dalam belajar tetapi mempunyai potensi bermain musik, sebagai seorang guru harus mengarahkan agar anak tersebut mau mengembangkan potensinya, yaitu dengan mengikuti ektrakurikurer di kelas musik dan didukung bersama teman-teman yang lain, dengan begitu anak akan merasa dihargai dan tidak dikucilkan.
Dapat disimpulkan bahwa model pedidikan humanisme ini adalah model yang terbaik untuk diterapkan di sekolah inklusi, sebab dapat membantu anak berkebutuhan khusus maupun reguler untuk mengembangkan potensi mereka masing-masing dengan saling bekerja sama belajar ditempat yang sama tanpa adanya diskriminasi.Â
Dengan model pendidikan humanisme ini, maka anak belajar untuk menjadi manusia utuh dengan saling menerima perbedaan dan berusaha saling menghargai serta berempati dengan manusia lainnya, baik itu yang berkebutuhan khusus atau bukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Woolfolk. 2009. Educational psychology, Active Learning Edition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mumpuniarti. 2010. Perspektif Humanis Religus Dalam Pendidikan Inklusif: Jurnal Pendidikan Khusus. 7(2).
Suswanto, Sodiq Azis Kuntoro, Suyata. 2015. Pendidikan Humanis Berbasis Kultur Sekolah Dasar Tumbuh 1 Yogyakarta: Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. 3(1): 70-73.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H