Mohon tunggu...
Adelia Ramadhani
Adelia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasioanl

Hobi nonton film dan gambar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketegangan di Laut China Selatan

5 Desember 2024   19:55 Diperbarui: 5 Desember 2024   20:03 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Gambar Pribadi

Dengan melibatkan banyak negara Asia Tenggara dan kekuatan global yang penting, ketegangan di Laut Cina Selatan telah berkembang menjadi salah satu konfrontasi geopolitik paling rumit di Asia. Peta “Sembilan Garis Putus-putus” yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1947 mewakili klaim sepihak Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas sebagian besar Laut Cina Selatan dan menandai dimulainya perselisihan ini. Menurut ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Tiongkok mengklaim sebagian besar wilayah laut di peta, yang juga diakui oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan sebagai bagiannya. dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kepentingan strategis kawasan ini sebagai jalur perdagangan yang menghubungkan Asia Timur dengan belahan dunia lainnya, serta penemuan sumber daya alam yang sangat besar termasuk cadangan minyak, gas alam, dan perikanan, semuanya semakin memperburuk ketegangan ini.


Prinsip-prinsip UNCLOS, yang memberikan hak laut berdasarkan ZEE hingga 200 mil laut dari garis pantai masing-masing negara, seringkali bertentangan dengan klaim teritorial Tiongkok di Laut Cina Selatan. Negara-negara di Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan berpendapat bahwa klaim Tiongkok melanggar kedaulatan mereka dan membahayakan hak eksplorasi ekonomi yang diakui secara internasional. Ketegangan juga meningkat akibat pembangunan pulau buatan dan instalasi militer Tiongkok di Kepulauan Spratly untuk memperkuat posisinya selain klaimnya atas wilayah maritim.

Dinamika Geopolitik

Dari sudut pandang geopolitik, Laut Cina Selatan mempunyai arti penting secara strategis. Kawasan ini merupakan pusat kegiatan ekonomi global yang penting bagi negara-negara Asia dan seluruh dunia, dengan nilai perdagangan tahunan sebesar $5,3 triliun. Selain menjadi sumber daya ekonomi yang berharga, kawasan ini juga berfungsi sebagai saluran utama Tiongkok untuk menjamin pasokan energi dan ekspor produk negara tersebut. Tiongkok terus meningkatkan kehadiran dan pengaruh militernya di kawasan ini, khususnya untuk menggagalkan campur tangan pihak luar, sebagai bagian dari kebijakan ekonomi dan pertahanannya untuk mengamankan kawasan ini.

Namun, sebagai bagian dari kebijakan "kebebasan navigasi", Amerika Serikat bertujuan untuk menjaga kebebasan navigasi di wilayah ini. Sebagai bentuk solidaritas bagi negara-negara ASEAN yang meyakini kedaulatan mereka telah dilanggar, AS secara berkala menempatkan kapal angkatan lautnya di perairan tersebut untuk melawan klaim sepihak Tiongkok. Pertarungan dua negara adidaya yang masing-masing berupaya mempertahankan dominasinya di kawasan Asia-Pasifik tercermin dalam rivalitas Tiongkok dan AS di Laut Cina Selatan.

Selain AS, sejumlah negara lain, antara lain Jepang, Australia, dan India, juga berminat menjaga stabilitas Laut Cina Selatan. Misalnya, jalur perdagangan di Jepang bergantung pada keamanan regional. Dalam upaya mengimbangi pengaruh Tiongkok di Indo-Pasifik, negara ketiga ini bergabung dengan AS untuk membentuk aliansi Quad, yang terdiri dari AS, Jepang, Australia, dan India. Keberadaan Quad, meskipun bersifat informal, menunjukkan upaya terkoordinasi untuk meramalkan kemungkinan bahaya dari invasi Tiongkok.

Dampak Konflik

Ketegangan di Laut Cina Selatan berdampak pada banyak bidang, termasuk militer, ekonomi, diplomasi, dan lingkungan hidup. Karena pentingnya wilayah ini secara ekonomi sebagai pusat jalur perdagangan utama dunia, ketidakstabilan di wilayah ini berpotensi mengganggu jaringan pasokan global. Kebebasan navigasi, yang penting bagi perdagangan internasional, termasuk transit gas dan minyak, berada dalam bahaya karena ketegangan yang terus meningkat, terutama akibat tindakan militer Tiongkok. Jika jalur ini terganggu maka akan berdampak signifikan terhadap negara-negara Asia Tenggara yang sangat bergantung pada ekspor, sehingga konflik yang berkepanjangan dapat berdampak pada perekonomian.

Selain itu, negara-negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia telah mulai meningkatkan anggaran pertahanan mereka sebagai respons terhadap rencana Tiongkok untuk membangun pangkalan militer di pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly. Dalam upaya mengimbangi pengaruh Tiongkok, AS dan sekutunya juga rutin menggelar latihan militer di kawasan tersebut. Operasi militer dengan demikian meningkatkan kemungkinan konflik bersenjata di Laut Cina Selatan, yang dapat menyebabkan peningkatan ketegangan lebih lanjut.

Stabilitas politik di kawasan juga terkena dampak ketegangan ini, khususnya bagi negara-negara anggota ASEAN. ASEAN adalah organisasi regional yang menggunakan kebijakan non-militerisasi dan diplomasi multilateral untuk mencoba menyelesaikan perselisihan. Namun, proses ini sulit untuk dilaksanakan karena hegemoni Tiongkok dalam hubungan politik dan ekonomi regional. Sejumlah anggota ASEAN, termasuk Kamboja dan Laos, memiliki hubungan dekat dengan Tiongkok, sehingga menyulitkan kelompok tersebut untuk mengambil sikap terpadu yang terselesaikan. Meskipun ada upaya untuk membuat Deklarasi Kode Etik di Laut Cina Selatan, sejauh ini belum ada jawaban nyata yang ditemukan.

Selain dampaknya terhadap perekonomian, militer, dan politik, perang Laut Cina Selatan juga berdampak buruk terhadap lingkungan. Ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut telah menderita akibat upaya reklamasi lahan Tiongkok yang ekstensif untuk menciptakan lebih banyak pulau buatan. Populasi ikan dan spesies laut lainnya terancam, penghidupan nelayan setempat terganggu, dan keanekaragaman hayati laut terkena dampak kerusakan terumbu karang. Sayangnya, inisiatif perlindungan lingkungan sering kali diabaikan di tengah pergulatan geopolitik saat ini, meskipun faktanya kerusakan lingkungan ini sulit diselesaikan tanpa kerja sama yang kuat antara negara-negara yang terlibat.

Klaim Tiongkok telah ditentang secara diplomatis dan hukum oleh negara-negara seperti Vietnam dan Filipina. Misalnya, Filipina memperoleh penyelesaian pada tahun 2016 ketika Pengadilan Arbitrase Permanen memutuskan bahwa klaim Sembilan Garis Putus Tiongkok tidak memiliki dukungan hukum. Namun Tiongkok menolak perjanjian tersebut dan terus melanjutkan aksi militernya di Laut Cina Selatan. Pola pikir ini menunjukkan bahwa aspirasi Tiongkok belum cukup digagalkan oleh upaya hukum internasional.

Institusi regional lain yang berupaya menengahi perselisihan ini adalah ASEAN. Namun, upaya ini sulit untuk dicapai karena lingkungan ASEAN dan pengaruh Tiongkok yang signifikan terhadap sejumlah negara anggota. Akibatnya, negosiasi Deklarasi Kode Etik di Laut Cina Selatan selama bertahun-tahun tidak membuahkan hasil nyata. Kegagalan ini menunjukkan bahwa kemampuan ASEAN untuk menahan tekanan dari negara-negara kuat seperti Tiongkok masih terbatas, sehingga kontribusi mereka terhadap penyelesaian konflik regional di bawah standar.

Negara-negara seperti AS, Jepang, dan anggota Quad berdedikasi untuk menjaga kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan dan menentang dominasi Tiongkok dalam skala global. Negara-negara ini ingin mengimbangi kekuatan militer Tiongkok di kawasan dan membantu negara-negara Asia Tenggara dalam mempertahankan kedaulatan mereka melalui kerja sama pertahanan. Dengan memperkuat hubungan pertahanan dengan negara-negara ASEAN, Amerika Serikat, yang merupakan kekuatan militer penting di kawasan Indo-Pasifik, juga berupaya mempertahankan kepentingan strategisnya di Laut Cina Selatan. Salah satu elemen kunci dalam menghentikan hegemoni Tiongkok di Laut Cina Selatan adalah kehadiran Amerika Serikat dan sekutunya di wilayah tersebut.

Perebutan kekuasaan global yang kompleks, khususnya yang melibatkan Tiongkok, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat, tercermin dalam konflik Laut Cina Selatan. Kaum realis percaya bahwa Tiongkok berupaya melindungi kepentingan ekonomi dan strategisnya dengan memperkuat posisinya di Laut Cina Selatan. Namun, ekspansi Tiongkok juga memicu tanggapan keras dari kekuatan eksternal dan negara-negara tetangga yang memandang meningkatnya pengaruh regional Tiongkok sebagai suatu bahaya. Namun, untuk mencegah konflik menjadi lebih buruk, negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya juga menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan Indo-Pasifik.

Kesimpulan

Semua pihak harus mendukung penyelesaian konflik secara damai dan menjunjung tinggi hukum internasional, khususnya UNCLOS, guna menjaga stabilitas di Laut Cina Selatan. Kode perilaku yang lebih dapat diterima bersama di kawasan ini mungkin bisa dikembangkan oleh ASEAN, namun keberhasilannya terutama bergantung pada kesiapan Tiongkok untuk membuat konsesi. Sementara itu, komunitas internasional khususnya Amerika Serikat dan sekutunya diharapkan mampu menjaga keseimbangan kekuatan dan menjaga kawasan ini bebas dari konflik terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun