Kecenderungan menyalahkan korban (Victim Blaming) sering terjadi pada kasus kekerasan ataupun pelecehan seksual. Banyak dari mereka menyalahkan perempuan atas peristiwa yang terjadi, sehingga perempuan harus ikut bertanggung jawab atas kekerasan atau pelecehan yang menimpa dirinya. Anggapan ini mengacu pada tindakan pemerkosaan yang bisa terjadi karena perempuan memancing hasrat seksual laki-laki dengan pakaian yang sensual atau provokatif.
Budaya menyalahkan korban sering sekali dijumpai di berbagai lapisan masyarakat, akhirnya para korban merasa takut untuk melaporkan kasus yang mereka alami. Mereka khawatir atas stigma buruk yang akan menimpanya dan perlakuan diskriminasi karena melaporkan kasus kekerasan atau pelecehan yang terjadi. Mereka bahkan akan dianggap merusak nama baik keluarga, institusi, lembaga, dan lain-lain.
Dikutip dalam Communication.uii.ac.id, Di Indonesia, kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, ideologi yang mengakui hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan. Akibatnya, laki-laki menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Sikap menyalahkan korban dalam masyarakat patriarki telah membuat para korban kekerasan atau pelecehan seksual mengalami penderitaan ganda, yakni diperkosa dan disalahkan. Hasilnya korban akan selalu merasa tidak aman untuk menceritakan kisahnya kepada orang lain, bahkan dengan teman sekalipun. Mereka akan lebih memilih bungkam karena rasa malu terhadap tekanan sosial yang dialami.
Rasa malu ini tentu semakin diperkuat dengan pemberitaan yang menempatkan perempuan selaku korban sebagai ‘pemicu’ terjadinya kekerasan seksual yang dialami dan justru berempati pada pelaku dengan dalih ‘tak mampu menahan gairah seksualnya saat melihat seorang perempuan berdiri sendirian pada malam hari’ (Lestari, 2019: 197).
Victim blaming merupakan bagian dari rape culture (Ihsani S. N., 2021). Rape culture didefinisikan sebagai kondisi ketika pemerkosaan terjadi dianggap wajar atau lazim dan kekerasan seksual dianggap normal (Restikawasti, A. E., 2019). Hal yang membuat rape culture dikategorikan dalam kasus pelecehan seksual, yaitu mengkritik busana, kondisi kejiwaan, dan menyalahkan korban. Perilaku victim blaming menyangkut perubahan karakter yang terjadi pada setiap individu.Â
Profesor psikologi di University of the South, Sherry Hamby menjelaskan pendapatnya mengenai victim blaming. Menurutnya, faktor terbesar yang mendorong victim blaming adalah sesuatu yang disebut hipotesis dunia yang adil, bahwa orang-orang pantas mendapatkan apa yang terjadi pada mereka atau kita semua pantas mendapatkan hasil dan konsekuensi dari hal yang kita lakukan.
Richmond-Abbott (1992 dalam Astuti, 2019: 153) percaya bahwa keyakinan budaya kita tentang pemerkosaan membantu melestarikan sikap menyalahkan korban atau victim blaming, serta memaklumi pelaku pemerkosaan dan memperkuat perbedaan kekuatan dan kekuasaan antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan.Â
Pada kasus Via Vallen di media sosial Instagram, dirinya menjadi korban pelecehan sepak bola ternama. Dirinya bersuara atas tindakan pelecehan yang ia alami, tak sedikit respon negatif diberikan oleh para warganet di akun media sosial miliknya. Beberapa diantaranya menyalahkan Via Vallen sebagai pemicu karena tidak menjaga pakaiannya dengan baik, beberapa lainnya bahkan mewajari tindakan pelecehan yang dialami karena adanya ‘perbedaan budaya’ yang dimiliki pelaku dan korban.Â
Kondisi victim blaming ini juga didukung oleh persoalan moralitas dan mitos-mitos lainnya yang masih berkembang di tengah masyarakat, seperti pembagian kelas pada perempuan ke dalam kategori perempuan baik dan perempuan tidak baik.Â
Perempuan korban perkosaan dianggap sebagai perempuan yang tidak baik karena telah berhubungan seksual sebelum ikatan pernikahan terjadi. Maka tak jarang kasus pemerkosaan justru diselesaikan dengan cara menikahkan korban dengan pelaku agar pelaku dianggap ‘bertanggung jawab’ atas perbuatannya. Akibatnya, banyak kasus perkosaan yang berhenti pada proses pemeriksaan di kepolisian karena adanya anggapan pelaku yang dimaafkan oleh pihak keluarga korban (Setyawati, 2015: 8).