Bagi mereka yang menyandang status disabilitas memiliki kegelisahannya sendiri akan keterbatasan yang dialami. Namun, keterbatasan fisik tidak membatasi mereka untuk berprestasi, karena nyatanya lemah fisik belum tentu lemah jiwa. Kekuatan jiwa acapkali dibekali mental yang tangguh sehingga menjadikan mereka mandiri dan mengekspresikan segala hal yang bahkan bisa mengalahkan keterbatasan fisik yang dimiliki. Maka itu, penyandang disabilitas harus diberikan peluang yang sama untuk mendorong mereka ke arah yang lebih maju sehingga memperoleh kehidupan yang lebih layak.
Dulu istilah Penyandang disabilitas sempat diistilahkan sebagai Penyandang cacat, namun setelah disahkan pada Semiloka Terminologi sebutan "Penyandang Cacat" yang tujuannya mendorong Ratifikasi Konvensi Internasional terkait Hak-Hak Penyandang disabilitas yang bertepatan pada 8-9 Januari 2009 di Gedung Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD), Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Semiloka merupakan sebuah kerjasama antara Komnas HAM dan Departemen Sosial, serta lembaga-lembaga terkait. Maka, istilah penyandang disabilitas juga menjadi istilah yang digunakan pada skala internasional.Â
Disabilitas dimaknai sebagai upaya yang setiap prosesnya terus berkembang, sehingga dapat dikatakan hasil yang sumbernya dari interaksi antar orang yang memiliki keterbatasan gerak dan sikap, serta lingkungan yang menjadi akar hambatan mereka dalam bersosial terkait kesetaraan dengan sesama manusia lain. Padahal adanya hambatan dalam mendorong penyandang disabilitas ke arah yang lebih maju, yakni sosial budaya yang membentuk pola pikir masyarakat kepada para disabilitas, fisik dan geografis yang berkaitan dengan pelayanan, dan tidak tersedianya data-data yang menunjang menyangkut disabilitas secara komprehensif.
Dalam Jurnal Psikologi, stigma juga memegang peranan besar dalam menghadapi tantangan bagi penyandang disabilitas. Stigma yang melekat pada penyandang disabilitas adalah orang yang harus dikasihani karena keterbatasan yang ada. Hal ini menjadikan para penyandang disabilitas terdiskriminasi oleh lingkungan atau masyarakat sekitar, sebab dianggap tidak mampu menjalankan atau melakukan kegiatan yang biasa dikerjakan oleh orang pada umumnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas atas acuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 terkait perlindungan, pemberdayaan, jaminan, dan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas. Untuk itu, Hak dan Kewajiban harus terpenuhi agar mereka bisa setara dengan makhluk sosial lainnya.
Hal ini terjadi karena di Indonesia setiap warganya dijamin atas kelangsungan hidupnya, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik seperti penyandang disabilitas yang memiliki kedudukan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sama dengan warga negara Indonesia yang dalam hubungannya tidak dapat terpisahkan oleh masyarakat Indonesia dan warga negara sebagai titipan dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, untuk terus berjalan maju dan terus berproses secara bermartabat dan adil.
Faktanya, sebagian dari mereka yang berstatus sebagai penyandang disabilitas hidup di Indonesia dalam kondisi yang merisaukan atau rentan, serta terbelakang dan miskin. Hal ini merupakan dampak dari pembatasan, hambatan, kesulitan, pengangguran, pemutusan, dan penghilangan hak para penyandang disabilitas. Oleh karena itu, mengharuskan pemerintah membuat peraturan atau kebijakan yang dirasa cukup untuk mewadahi dan menunjang kelangsungan hidup mereka.
Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya. Maka, kelangsungan hidup penyandang disabilitas harus terpenuhi.Â
Pasal 5 ayat (3) UU No 39 tahun 1999 yang telah diatur terkait Penyandang disabilitas, setiap orang, termasuk kelompok masyarakat yang rentan, berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan secara khusus. Ditinjau dari penjabarannya, kelompok masyarakat rentan ialah mereka yang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang disabilitas. Jadi penyandang disabilitas berhak atas pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.Â
Secara umum, dikatakan bahwa penyandang disabilitas berhak atas penyediaan sarana aksesibilitas yang menunjang kemandiriannya, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, kesamaan kesempatan dalam ketenagakerjaan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Dalam hal ini, yang dimaksud rehabilitasi meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi pelatihan, dan rehabilitasi sosial yang sudah dijelaskan diatas.
Penyandang disabilitas berhak menikmati semua hak yang ditetapkan dalam pengaturan ini. Hak-hak tersebut harus diberikan kepada semua penyandang disabilitas tanpa pengecualian apapun, serta tanpa pembedaan atau diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau situasi lain dari penyandang disabilitas itu sendiri maupun keluarganya. Pemenuhan hak-hak atas penyandang disabilitas tersebut menjadi kewajiban pemerintah dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat untuk turut berperan serta.Â