Kasus Dugaan Korupsi di Kementerian Pertanian
Oleh Syahrul Yasin Limpo dan Kedua Rekannya Â
Dugaan kasus korupsi kepada bersangkutan Syahrul Yasin Limpo bersama dua rekannya di Kementan. Dugaan ini berawal dari Syahrul Yasin Limpo menyatakan mengundurkan diri dari Kementan sebagai menteri.  Pada saat itu, SYL berada di dalam mobilnya usai melakukan pertemuan tertutup dengan jajaran di kantor Kementan, Jakarta, kamis (5/10), bersamaan dengan hari itu SYL kemudian  menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan.  Meskipun demikian, surat pengunduran diri itu hanya diterima oleh sekretaris negara Pratikno.Â
"Alasan saya mengundurkan diri adalah ada proses hukum yang saya hadapi dan saya harus siap menghadapi secara serius," ujar Syahrul di Kompleks Istana Negara, seperti dikutip dari Kompas.com.Â
Kasus dugaan tipikor ini diketahui dari laporan masyarakat yang menduga mentan SYL bersama sekretarisnya Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta selaku Direktur Sarana dan Prasarana Kementan melakukan tindakan korupsi, gratifikasi, serta tindakan pencucian uang di Kementan. Â Selain itu juga adanya dugaan kasus penyalahgunaan Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) keuangan negara, dugaan jual-beli jabatan, hingga dugaan hasil menerima gratifikasi. Â
Diketahui awal mula terjadinya kasus ini ketika SYL membuat kebijakan terkait adanya kewajiban pungutan dan setoran sejak 2020 yang ditujukan kepada Aparatus Sipil Negara di internal kementan. Alih-alih tindakan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti membayar kartu kredit dan cicilan mobil alphard milik SYL dan keluarga.Â
Terkait laporan dari masyarakat, KPK segera turun langsung untuk mencari barang bukti dan sejumlah saksi. Â Pada Rabu (04/10) KPK menggeledah kediaman pribadi SYL di Makassar, Sulawesi Selatan. Hasil dari penggeledahan tersebut, KPK menyita sebuah koper dan mobil Audi berwarna hitam. Meski begitu KPK belum menetapkan SYL sebagai tersangka, tapi di Menko Polhukan Mahfud MD menyatakan SYL telah melakukan tindakan korupsi dan dinyatakan sebagai tersangka.Â
Dari penyelidikan tersebut, terungkap sumber aliran dana setoran itu berasal dari pencairan anggaran kementan yang sebelumnya sudah di gelembungkan. Uang yang disetorkan disetiap bulannya itu berbentuk mata uang asing kemudian dikirim kepada SYL dengan jumlah yang bervariasi mulai dari Rp. 62.800.00 - Rp. 156.720.000. Pemerasan yang dilakukan oleh SYL kepada bawahannya dilakukan dengan cara mengancamnya akan dimutasi ke unit lain jika tidak membayar setoran tersebut.
Waketu KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa "itu merupakan salah satu modus SYL untuk melakukan tindakan korupsi". Uang hasil setorkan tersebut kemudian dikumpulkan diunit uselon I dan uselon II, setoran tersebut berupa uang tunai, transfer, serta barang dan jasa. Demikian uang yang diterima Syahrul Yasin Limpo bersama kedua rekan kerjanya dalam kurung waktu 2020-2023 lebih kurang Rp. 13,9 M.
Dengan kasus ini, tersangka SYL bersaman Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta dinyatakan telah melanggar Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B UU RI tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana sebelumnya telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi.Â
Penahanan sementara Syahrul Yasin Limpo dan Muhammad Hatta saat ini akan ditahan hingga 11 Desember 2023, dan Kasdi Subagyono hingga 9 Desember 2023. Ketiga tersangka dikenakan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP menyatakan bahwa pelaku tindak pidana kejahatan adalah orang yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doenplegen), dan turut serta melakukan (medepleger). Kemudian SYL juga dikenakan Pasal 3 dan atau Pasal 4 UU 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Adanya tindakan pidana korupsi itu mengakibatkan
1. Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, Pasal 430 Kitab UU Hukum Pidana, dipidana dengan pidana paling singkat 1 tahun, dan paling lama 6 tahu atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00
2. Pasal 603, setiap orang yang secara malawan huum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, org lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, atau paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun.
Dengan maraknya kasus tindakan korupsi maka perlu adanya solusi dari berbagai pihak untuk mengurangi dan memberantas tindakan tersebut yang tentunya merugikan pemerintah dan negara.
Berikut beberapa solusi yang bisa diimplementasikan untuk mengurangi Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).
Yang paling utama :
1. Adanya kesadaran di dalam diri setiap individu untuk bertanggung jawab dalam berbangsa dan bernegara
2. Secara preventif (usaha penanggulangan atau pencegahan) : Memperkuat DPR, memperkuat Mahkama Agung beserta jajarannya, membangun kode etik disektor Parpo, organisasi profesi, asosiasi bisnis, dan meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan, serta menyempurnakan SDMÂ
3. Secara detektif (mendeteksi terjadinya korupsi) : perbaikan sistem dan tindak lanjut dari pelaporan masyarakat, pelaporan kekayaan pribadi, pemegang jabatan dan fungsi publik, dan pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan
4. Secara represif (usaha yang diarahkan) : pembentukan badan/komisi anti korupsi, dilakukannya penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penghukuman bagi koruptor besar (Catch Some Big Fishes),Â
5. Mensinkronisasikan Undang-Undang atau penataan regulasi, pembinaan SDM dan digitalisasi pemerintahan
6. UU Nomor 30 Tahun 2002, di bentuk komisi pemberantasan korupsi (KPK).
Pasal yang mengatur tindak pidana korupsi
1. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
2. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. Korupsi diatur dalam KUHP dengan 5 Pasal Krusial, meliputi Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 yang mengatur Kerugian Keuangan Negara dan Suap.
Pasal terkait adanya penerimaan gratifikasi
Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang perubahan menuju UU No. 20 Tahun 2001 "setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap memberi suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H